happy reading
"Kamu nggak mandi lagi Al?" tanya Kanya dari balik punggung Fath yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.
Fath menoleh kemudian menggeleng. "Nggah ah Ka, tadi kan udah mandi di kolam renang."
Satu jam yang lalu, mereka berdua sampai di apartemen setelah setengah hari bermain dengan air di kolam renang. Dan pertanyaan tersebut, telah berkali-kali Kanya lontarkan, hingga jemu Fath mendengar, juga bosan menolak terus-menerus.
"Kenapa sih nggak mau mandi lagi?"
Lelah menyuruh suaminya untuk mandi ulang, Kanya berjalan gontai menyusul Fath ke sofa panjang berwarna biru elektrik ini.
"Kenapa juga harus mandi lagi?"
Kanya terdiam, ia tak menjawab pertanyaan Fath. Sebab, Kanya pun bingung, mengapa ia harus mandi ulang, setelah tadi sudah mandi di kamar mandi kolam renang. Semua itu seperti sugesti yang harus ia lakukan. Mungkin ia telah terbiasa begitu sedari kecil, sehingga sampai sekarang kebiasaan itu masih terbawa.
"Tadi waktu kamu mandi, mama telepon aku," ucap Fath sembari menyingkirkan anak rambut Kanya yang menutupi wajahnya.
"Telepon kenapa?" tanya Kanya dengan mata terpejam, seolah menikmati setiap pergerakan yang Fath ciptakan.
"Jam satu kita disuruh jemput budhe ku yang dari Solo."
Mata Kanya seketika terbuka lebar. Ia bangkit dari posisi rebahan di pangkuan Fath. "Kok nggak bilang sih?"
"Ini udah bilang," kilah Fath. Ia berusaha merebahkan kepala Kanya di pangkuannya, namun segera ditepis oleh Kanya.
"Ini itu dadak banget Al, please ya. Udah jam setengah satu, dan kita masih santai-santai gini di rumah."
Kanya berdiri sembari berkacak pinggang menghadap Fath. Fath hanya melihat Kanya dengan wajah datarnya.
"Mau kemana sih Ka? Sini lagi, aku masih kangen kamu tau," rengek Fath layaknya anak balita.
"Enggak. Sekarang siap-siap terus berangkat jemput budhe kamu di bandara. Setengah jam di jam makan siang gini, pasti bakal macet Al. Nggak kekejar nanti, kita pasti telat, kasihan kan budhe kamu nunggu kelamaan."
Fath menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri saat Kanya sibuk mengoceh. Omongan Kanya dianggap seperti lagu baginya.
"Ihh Al, ayo!" Kanya menarik paksa tangan Fath dan menyeretnya tanpa ampun ke kamar mereka.
Beberapa menit kemudian, dua orang remaja setengah dewasa itu keluar dari tempat persembunyiaannya. Sudah berganti dengan pakaian yang lebih layak. Kanya dengan gamis warna coksu, dan Fath dengan kaos bergaris abu putih berbalut kemeja abu-abu, tak lupa dengan jins miliknya.
Mereka berdua langsung memesan taksi online menuju Bandara Internasional Sukarno Hatta.
Tepat seperti yang Kanya kirakan. Lalu lintas kota Jakarta siang ini tak bisa diajak kompromi. Lihatlah, saat ini mereka terjerembab di tengah lautan kendaraan bermotor yang menyemut.
Di samping Fath, Kanya sudah mengomel panjang lebar dan menyalahkan keteledoran Fath. Jika saja mereka berangkat satu jam lebih awal, pasti mereka sudah sampai di bandara.
"Gimana dong ini? Macet parah." Kepala Kanya, ia sembulkan keluar jendela taksi online yang mereka pesan.
"Itu macetnya hampir sekilo, Al. Kita telat banget nanti," omelnya lagi.
Fath tak mengindahkan semua kalimat kekhawatiran istrinya, ia justru menggerakkan lincah jemari tangannya di layar ponsel pintarnya.
"Al!" pekik Kanya dengan nada sedikit membentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Spiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...