^vote vote comment comment^
Brian
Besok temui Fath di Cafe dekat stasiun, sepulang sekolahPrae meletakkan ponsel miliknya di nakas samping ranjang. Tak ada sedikitpun hasrat ingin membalas pesan yang baru saja meramaikan ponselnya.
Ia merebahkan tubuh di atas ranjang, mengamati langit-langit kamar, sembari mendengar suara gemericik hujan membahasi bumi. Akhirnya hari itu datang juga, hari di mana ia harus terbangun dari mimpi dan menghadapi takdir yang telah ia ciptakan sendiri.
Ini adalah keputusannya, mencintai seseorang dengan begitu dalam tanpa sebuah pegakuan. Indah memang, bisa berkhayal berbagai macam keindahan tanpa takut patah. Meski ia pun sadar, resiko mencintai dalam diam adalah patah hati secara diam-diam.
"Gue merasa terciduk," katanya disusul tawa hambar.
Besok ia harus bertemu Fath. Menyuarakan kenyataan itu saja membuatnya tertawa kencang, namun terasa hambar dan menyakitkan.
"Berarti gue nggak bisa mengutarakan rasa lewat surat lagi dong?"
Pertanyaan retorisnya dijawab oleh jiwanya sendiri.
Ya Prae. Saatnya lu bangun, jangan hidup di balik bayang-bayang aksara.
Mengingat masa lalu, masa pertemuan pertamanya dengan Fath yang sangat-sangat berkesan. Rasa-rasanya Praela tak pernah bisa melupakan. Tanpa sadar kenangan itu telah menciptakan ruang tersendiri bagi Fath di hatinya.
Awalnya ia ingin menemui dan menyatakan perasaannya secara langsung ketika ia berhasil menemukan Fath lagi pagi itu di stasiun. Takdir yang telah membawa langkahnya menemukan seseorang yang selama ini mengisi hatinya.
Tapi ia tak bisa. Secinta-cintanya seorang perempuan, ia hanya bisa menyimpan dan berharap waktu yang menjelaskan semuanya. Entah berakhir bersama atau saling mengikhlaskan."It's time to show Prae! Besok gue bakal ketemu Fath, harusnya gue senang dong!" teriaknya menyemangati dirinya.
"Selamat datang kenyataan!" teriaknya lagi sebelum ia menutupi tubuhnya dengan selimut tebal dan mulai memasuki dunia fantasinya yang lain. Ia terlelap dan kembali hidup dalam mimpi.
***
Siang harinya di sebuah kelas berisi 25 anak, Brian menyenggol tubuh Fath pelan. Yang merasa terganggu menolehkan kepalanya.
"Kenapa?"
"Semalem gue udah kasih tahu Praela buat nemuin lu nanti sepulang sekolah di Cafe dekat stasiun."
"Sepulang sekolah?" tanya Fath memastikan.
"Iya. Emangnya kenapa? Gue udah pilihin tempat dekat stasiun biar kalau lu mau pulang bisa cepet. Terus gue pilihin Cafe biar lu sama Praela nggak cuma berdua tapi rame-rame, biar setan nggak jadi yang ketiga."
Penjelasan Brian yang panjang lebar membuat Fath melongo, dan membolakan mata.
"Nggak nyangka lu seniat ini Bro." Fath menepuk bahu Brian dan berkata dengan nada sedikit menyindir.
"Ya gue sih nggak mau kalau lu sampai ditinggalin istri lu cuma gara-gara Praela, dan lu yang berakhir nangis di pojokan kamar sambil ngelap ingus," kata Brian berlagak jijik.
"Sialan lu Yan!"
"Yaudah makanya bersyukur. Gue berasa cowok, ngelakuin apa aja salah di mata lu."
Lagi-lagi Fath dibuat melongo. "Emangnya lu bukan cowok?"
Brian menatap Fath dan sedikit memiringkan kepalanya. "Ya cowok sih.""Gue punya kenalan psikiater Yan. Kayanya kejiwaan lu mulai terganggu deh," jawab Fath bergurau namun dianggap serius oleh Brian.
"Kampret lu Fath! Lu pikir gue gila apa?" Brian memukul tubuh Fath dengan tas ransel miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Spiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...