CHAPTER 32

4.5K 411 184
                                    

Dengan langkah tergopoh-gopoh, seorang pria paruh baya usia sekitar 45 tahun menyusuri lorong rumah sakit. Di tengah rapat pentingnya tadi, ada panggilan masuk dari nomor asing, katanya dia teman Fath dan mengabarkan bahwa Kanya -menantunya- masuk rumah sakit.

Telah berulang ia menelepon anaknya, tapi tak ada jawabannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkan tanggung jawabnya kepada tangan kanannya di kantor dan segera melesat ke rumah sakit.

Saat sampai di kerumunan anak muda dan dua orang tua, ia mendapat kabar bahwa anak lelakinya pergi begitu saja sesaat setelah dokter keluar ruang operasi. Secepat kilat, otaknya kembali memberi perintah agar kakinya bergerak mencari keberadaan putra semata wayangnya.

Tebakannya tertuju pada mushola rumah sakit yang berdiri kokoh tepat di samping gerbang masuk rumah sakit. Sesampainya di sana ia melihat seorang remaja dengan pakaian basah kuyup, memegang al-qur'an dan melantunkan ayat suci dengan suara serak dan penuh kefrustasian.

Ia mendekati remaja pria tersebut yang tak ayal adalah Fath -anaknya-
Ia menepuk bahu yang terlihat lebih rapuh dari biasanya. Pertama kali ia sebagai papa melihat anaknya begitu rapuh, bahkan ketika ia membuat keputusan sepihak dan menyakiti hati putranya, bahu Fath tak pernah goyah, bahkan bisa dibilang justru lebih tegap nan berani.

Mata sembab lengkap dengan binar kesakitan menatap manik matanya. Ia dapat membaca guratan pertanyaan dari mata sembab tersebut. Sebelum bibir itu mengudarakan berbagai kalimat tanya, ia segera membungkamnya dengan serbuan peetanyaan.

"Kenapa lari?" Ujarnya lantas ikut duduk selonjor di samping anaknya.
Fath hanya mampu menggeleng.

"Papa mungkin pengecut, tapi papa nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi seorang pengecut juga."

Ucapannya berhasil menarik perhatian Fath. Mereka saling menatap dengan tatapan yang tak mampu dijelaskan oleh kata.

"Bahkan kamu belum mendengar ucapan dokter sepenuhnya, kenapa malah lari?"

"Fath nggak sanggup Pah. Rasa sesal itu semakin nyata jika Fath mendengar kalimat yang akan dokter ucapkan."

"Terus menurut kamu, lari dari masalah itu solusi?" Fath menggeleng yakin, sebab ia pun sadar lambat laun kenyataan itu akan tetap menampar dan menghancurkannya.

"Kenapa Papa peduli?" Fath mengalihkan pembicaraan. Seperti dugaan Fath, tubuh papanya terlihat menegang, air mukanya pun mengeras.

"Selama ini papa nggak pernah peduli, kenapa sekarang baru peduli?"

"FATH!" bentak papa. "Kita tidak sedang membicarakan hal itu, jangan coba-coba mengalihkan pembicaraan," suara itu kembali melembut.

Setelahnya, mereka kembali membisu, membiarkan denting waktu terus melaju bagai peluru pembidik bisu. Fath yang sedih dengan keadaan istri dan anaknya, sekarang bertambah bingung dengan sikap peduli yang papanya tunjukkan.

"Papa peduli karena ini waktu yang tepat."

Mata Fath menatap papanya penuh tanya, kemudian ia menggeleng. "Fath nggak ngerti maksud papa."

"Kamu nggak suka papa peduli sama kamu dan keluarga kecilmu?"

Fath kembali menggeleng, tanpa capek memandang wajah sang papa. "Semua hanya terasa... aneh."

"Oke kalau ini mau kamu, mari kita bicarakan masalah kita dulu. Sebelum membahas masalah kamu. Dengerin papa."

Papa memegang kedua bahu Fath dan memaksanya untuk berhadapan dengan tubuh tegap tersebut.

"Mungkin menurutmu, papa adalah papa terjahat di dunia. Menyakiti hati istri dan anaknya sendiri. Dulu papa sudah mau berubah menjadi suami yang baik, apalagi semenjak tahu bahwa mama kamu hamil. Tapi nyatanya waktu nggak berpihak, tepat saat papa bahagia, kabar buruk juga datang. Mamanya Addin, saat dia bilang dia hamil anak papa, papa nggak punya nyali lagi untuk bertemu mama kamu."

BIMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang