CHAPTER 16

5.1K 482 250
                                    

"Kelak akan datang sebuah kebahagiaan yang teramat indah dalam hidupmu sebagai balasan atas segala kesabaranmu, hingga kamu lupa akan rasa sakit yang pernah kau alami."

"Ini beneran gapapa aku tinggal?" Fath yang sudah rapi mengenakan seragam sekolah, duduk di pinggir ranjang.

Tangannya sibuk mengelus kepala Kanya yang tengah tiduran di ranjang. "Iya gapapa Al, kamu sekolah aja."

Berusaha membuktikan bahwa ia baik-baik saja, Kanya mengulas senyum tulus meski harus sedikit memaksa, karena jika bibirnya terangkat sedikit saja, rasa pusing kembali melandanya.

"Aku nggak tega deh, harusnya kan aku ada di samping kamu saat lagi sakit gini."

Kanya tersenyum mendengar penuturan Fath yang menentramkan hatinya. Beruntungnya ia memiliki suami yang begitu baik dan sabar. Alhamdulillah, mungkin inilah hikmah yang dimaksud. Sebuah keterpaksaan bisa berubah menjadi sebuh kebutuhan.

"Aku nggak papa suamiku. Mungkin benar kata kamu, kayaknya asam lambung aku naik deh. Rasanya mual gitu. Aku udah pernah kayak gini, dan ternyata juga asam lambung."

Fath mengangguk namun tangannya belum juga berhenti mengusap-usap kepala Kanya dengan lembut.

"Kamu kenapa harus sakit sih?" Pertanyaan retorik dari Fath menimbulkan kekehan disertai dengusan dari Kanya.

"Ya ampun Al, kalau sakit bisa direncanain, nggak bakal aku mau sakit kayak gini."

Menikmati usapan dari Fath, rasa kantuk kembali menyerang Kanya. Dengan mata yang mengerjap, Kanya berusaha mendengarkan ucapan Fath dengan baik.

"Kamu kenapa keriyip-keriyip gitu?" tanya Fath yang sedari tadi tak mengalihkan perhatiannya dari Kanya.

"Hhhm, aku ngantuk Al. Kamu elus-elus gini, bikin aku ngantuk."

"Aduh duh, yaudah tidur aja. Aku beneran harus sekolah nih? Kamu benera gapapa kan?"

Kanya yang mulai jengah mendengar pertanyaan yang terulang, segera menyambar, ""Gak papa Al, Ya Allah, harus berapa kali sih aku ngomong?"

"Hehe, aku cuma khawatir aja."

"Udah sana sekolah yang rajin, biar bisa jadi dokter," ujar Kanya spontan.

Mendengar hal tersebut, Fath mendelik. "Mana ada sih anak IPS jadi dokter? Kamu tuh ya Ka."

Hidung minimalis nyaris mancung milik Kanya dicubit keras oleh Fath. "Aduh Al, ini sakit!" protes Kanya sembari menyingkirkan tangan Fath yang masih bertengger di hidungnya.

"Siapa tau kamu niat ambil IPC," elak Kanya setelah cubitan Fath terlepas.

"Nggak ah, nggak mau aku hafalin nama nama enzim kaya waktu SMP. Dih males banget, mending juga Akuntansi."

Kanya mendengus atas jawaban ucapan suaminya. Suaminya itu seolah memuji jurusannya sendiri, padahal jadi dokter adalah pekerjaan yang mulia, asal dia tahu.

"Iya deh terserah, aku capek debat. Aku ngantuk mau tidur aja. Udah sana kamu buruan berangkat, nanti telat lho."

Fath membenarkan posisi bantal Kanya, kemudian menarik selimut sebatas dada.

"Nanti jangan lupa ke dokter, minta temenin bunda atau nggak bisa telepon mama," saran Fath lalu ia mencium dahi istrinya.

"Aku berangkat. Assalamualaikum," pamit Fath sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu.

"Waalaikumussalam. Aku tunggu di rumah, semangat sekolahnya." Sebelum benar-benar lenyap, Fath masih sempat mengacungkan ibu jarinya.

***

BIMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang