^^vote comment yuk, besok update lagi lho^^
Fath duduk di luar ruang rawat Kanya dengan punggung menyender tembok di belakangnya. Ia terududuk dengan lemas di atas kursi, pikirannya melayang, memutar ulang kejadian beberapa saat yang lalu.
Kanya yang bahagia akan bertemu buah hatinya, lantas Kanya yang hancur dan jatuh secara bersamaan dalam satu waktu. Hatinya begitu teriris, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, semua itu nyata, tangisan itu, dan darah yang kembali keluar dari balik pakaian Kanya.
Ketika Fath ingin memberontak, ketika dipikirannya terbesit secuil rasa ingin menyalahkan Allah atas semua kejadian ini. Hati nuraninya mengingatkannya bahwa semua ini adalah suratan takdir dari sang pencipta, yang telah ditulis bahkan sebelum dunia diciptakan. Bahkan daun yang gugur pun telah diatur oleh Allah, apalagi takdir kehidupan seorang hamba-Nya.
“Nak, kenapa di luar? Kanya belum bangun?” sapa sebuah suara yang begitu familiar di telinganya.
Sang mama berdiri di hadapannya lantas mengikuti dirinya untuk duduk di kursi panjang ini. Fath menghapus bekas air mata yang baru saja kembali tumpah ruah.
“Kanya udah bangun Mah, dan dia udah tahu kalau anak kami hanya bisa selamat satu.” Setetes cairan kembali menitik beriringan dengan ucapannya.
Wajah mama berubah kaku, terganar jelas raut wajah oanik dan khawatir di sana. “Kok bisa? Kamu bilang sama Kanya?”
Fath mengangguk, disusul dengan melemasnya bahu mama. “Fath nggak bisa nutupin semua ini. Fath takut Kanya semakin sakit jika kita membohongi dia.”
Mata mereka berdua bersibubruk. “Fath nggak mau lagi main-main dengan kebohongan. Udah cukup.”
Ucapannya ini lebih pantas untuk menasehati dirinya sendiri, di balik kesedihannya tersirat sebuah ketakutan jika Kanya bertambah sakit hati ketika mengetahui kebohongannya dengan menyembunyikan surat misterius dari perempuan itu.
“Iya sayang, kamu bener. Sekarang Kanya gimana keadaannya?”
Fath menengok pintu kamar rawat Kanya sekilas. “Tadi Kanya kaget dan nggak bisa nerima, dia lari ke sana kemari nyari keberadaan anak kami yang telah tiada. Akhirnya dia jatuh dan jahitan di perutnya kembali terbuka. Sekarang dokter sedang menangani Kanya di dalam.”
“Ya Allah, Kanya,” balas mama. Ia segera memeluk sang anak, berusaha menularkan kekuatan kepada Fath. Masalah anaknya begitu berat meski usianya masih begitu muda untuk mendapatkan ujian ini.
“Makasih Mah, makasih udah ada di samping Fath.”
“Kamu ngomong apasih. Sudah pasti mama ada untukmu. Kamu anak mama, saat kamu sedih mama ikut sedih. Ketika kamu sakit, mama lebih sakit.”
Kemudian mereka melerai pelukan mereka ketika suara pintu terbuka menginterupsi kegiatan mereka. Seorang dokter beserta tiga orang suster berjalan keluar dari ruangan.
Fath dan mama berdiri sembari menghapus linangan air mata kemudian bertanya mengenai keadaan Kanya.
Seolah mengerti kecemasan dua anak dan ibu tersebut, dokter segera berkata sebelum kalimat tanya terucap. “Ny. Kanya sudah baik-baik saja sekarang. Tapi masih belum sadar, efek obat bius. Kalian bisa masuk dan melihat keadaannya. Kami pamit dulu.”
“Baik dokter, terimakasih.”
Langkah kaki Fath terhenti ketika mendengar panggilan dari mama. “Kenapa Mah?” Fath menoleh dengan mata memicing bingung.
“Kamu makan dulu. Mama udah beliin kamu makan.” Mama berkata sembari menjunjung makanan di tangannya setinggi bahu.
“Tapi Kanya—“

KAMU SEDANG MEMBACA
BIMI
Espiritual#SEQUEL ALKA# (Private) Layaknya sebuah hijrah yang harus diuji agar dapat dikatakan beriman dan bertawa. Cinta juga begitu, ada ribuan barisan ujian di balik pintu rumah tangga setelah terucap kata cinta. Laki-laki, masih dengan harta, tahta, wanit...