Aku adalah seorang ibu dari dua anakku yang masih kecil. Namanya Caitlyn dan Connor, mereka kembar. Dan aku sangat bersyukur atas itu, aku selalu memohon pada tuhan agar diberi anak kembar karena sungguh, aku sangat menginginkannya. Tapi, kehidupanku tidak sebahagia itu, tentu, aku tetap bersyukur.
Sekarang ini, aku menuju kamar Caitlyn dan Connor. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, aku langsung masuk dan membuka gorden yang masih tertutup. Sinar mataharipun masuk, kedua anakku yang masih berumur 5 tahun itupun menguap panjang dan mengulas senyum mereka kepadaku. Oh, ini sangat membahagiakan bagi seorang ibu sepertiku.
“Pagi, Mama.” Sapa Caitlyn dan Connor bersamaan. Aku melangkah mendekat, menyibakkan selimut mereka kemudian duduk ditepi ranjang seraya mencium puncak kepala mereka satu-persatu. “Mama senang kalian bisa cepat bangun, biasanya kan Mama harus mencubit pipi kalian dulu.” Sahutku, bercanda.
Mereka saling berpandangan lalu menggeleng bersama, astaga dua anak kembarku ini sangat lucu! Aku tidak ingin kehilangan mereka, “Kali ini kami lolos dari cubitan Mama, ya ‘kan Cait?” Tanya Connor pada Caitlyn, Caitlyn membalas dengan anggukan. Akupun mengelus rambut anakku, dan merengkuh mereka kedalam pelukanku. “Kalian tahu ini hari apa?” Tanyaku berubah serius, aku sudah tahu jawabannya dan pasti mereka akan menyukai hari ini.
“Mam, sekarang hari Sabtu. Itu berarti kita kerumah Papa, yeaaay! Aku tidak sabar untuk itu.” Jawab Caitlyn, polos.
Oh, hatiku bahkan mencelos saat mendengar pernyataan dari anakku sendiri bahwa ia menyukai ayahnya. Dan aku benci itu..
“Ya sudah, persiapkan diri kalian. Mandi dulu sehabis itu kita kebawah untuk sarapan.” Titahku. Pun Caitlyn dan Connor mengangguk menyetujui, Caitlyn yang pertama menggunakan kamar mandi sementara Connor tetap menunggu adiknya, dan dia masih berada disebelahku.
“Ma,”
“Ada apa sayang? Ada yang ingin kau katakan?”
“Aku ingin kamar baru, tentunya aku tidak bisa terus-menerus tidur bersama Caitlyn, Ma. Sepertinya Caitlyn merasa terganggu olehku saat dia sedang belajar.”
Aku menatapnya nanar, “Sayang, Mama sedang mengusahakannya. Mama akan mencari banyak uang. Kau tenang saja, okay?”
“Ma, mengapa Mama tidak meminta uang pada Papa?”
“Hush, jangan bicara begitu. Papa-mu sudah punya istri, ia harus menafkahi istrinya juga. Selama Mama masih bisa menghidupi kau dan adikmu, semuanya baik-baik saja.”
Connor mengangguk begitu mendengar penjelasanku. Ini semua memang terasa berat bagiku dan anak-anak, hidup tanpa ayah. Dan aku senang karena mantan suamiku itu masih bersedia membuka pintu rumahnya untuk anak-anakku disetiap hari sabtu tiba. Aku senang akan hal itu, hubungan kami memang tidak baik. Sangat tidak baik. Tapi, didepan anak-anak, aku berusaha untuk tidak menunjukan rasa benciku kepada mantan suamiku itu.
Kembali pada realita. Setelah Caitlyn keluar dari kamar mandi. Kini giliran Connor yang membasuh tubuhnya. Sementara aku menyisir rambut panjang Caitlyn kemudian mengepangnya. “Selesai, bagaimana? Kau suka?” Tanyaku, sambil memegangi cermin untuk memperlihatkan hasil kepanganku pada anakku itu.
Caitlyn senang sekali, terlihat dari raut wajahnya. Demi tuhan, aku mencintai anak-anakku ini. Caitlyn memelukku tiba-tiba, “Mama memang ibu yang terbaik. Mama yang paling kuat, Mama yang paling hebat, dan Mama yang paling cantik yang pernah ada didunia ini. Mama harus tau kalau Caitlyn dan Connor selalu mencintai Mama, meskipun Papa tidak lagi disini. Tapi, Mama jangan pernah merasa kesepian karena ada kami yang senantiasa menemani Mama setiap saat.” Terangnya, membuat hatiku merasa sangat bahagia. Dengan begini, aku terkadang tidak merasa khawatir saat anak-anakku pergi ke rumah ayahnya namun, rasa takut selalu ada.
Aku mencium rambut Caitlyn dengan haru. Air mata perlahan jatuh dari mataku. “Mama mencintaimu juga sayang. Kau dan Connor adalah kebahagiaan Mama, sampai kapanpun.”
**
Selesai sarapan, kini waktunya aku melepaskan anak-anakku. Meskipun satu hari saja, namun ini terasa berat untukku. Sangat berat..
Aku tahu mereka hanya ke rumah Papa-nya untuk berkunjung, yaampun, tapi mengapa aku sesedih ini? Aku merasa seperti kehilangan separuh jiwaku setiap hari sabtu tiba. Aku bahkan tidak sanggup mengantar anak-anakku sampai pintu depan. Karena aku tidak ingin melihat dia, lagi.
“Semuanya sudah siap?” Tanyaku sambil menahan air mata yang terasa ingin keluar dari pelupuk.
Kedua anakku mengangguk, “Siap, Mam. Sampai jumpa, kami akan pulang besok. Ada yang ingin disampaikan pada Papa?”
Aku menggeleng cepat, “Tidak ada. Aku berpesan pada kalian, jangan mengacau dan jaga diri kalian baik-baik.”
Lagi, mereka memelukku untuk tanda perpisahan. Setelah itu, mereka mencium pipiku. Connor disebelah kiri, Caitlyn disebelah kanan. Itu kebiasaan yang selalu mereka lakukan sebelum meninggalkanku dirumah sendirian. Aku mengamati punggung mereka yang mulai menjauh sambil melambai kecil.
Dan kini, aku kembali sendirian.
Perasaan itu datang lagi. Dimana aku selalu merasa sedih saat kedua anakku pergi meninggalkanku padahal hanya untuk menghabiskan weekend dirumah Papa-nya. Namun tetap saja, beberapa tahun yang lalu kami telah cerai. Tapi, kami membuat kesepakatan yaitu, memperbolehkan anak-anakku mengunjungi rumah Papa-nya dihari Sabtu.
Menangis, aku selalu menangis di Sabtu pagi. Meratapi kepergiaan anak-anakku itu, aku tahu ini terlalu berlebihan. Aku seorang ibu, dan perasaan sesak selalu mengalir didalam darahku. Aku hanya tidak ingin kehilangan anak-anakku tersayang..
Sebagai ibu, aku harus memperbolehkan mereka untuk menghabiskan waktu bersama Papa. Karena aku tahu, mereka butuh sosok yang satu itu. Meskipun hatiku merasa berkecamuk saat mereka dibawa pergi ke rumah Papa-nya, ya, aku harus ikhlas. Ia layak untuk bertemu anak-anaknya bahkan menghabiskan waktu bersama mereka.
Aku masih menangis, bahkan sampai terisak-isak. Menekan dadaku, dan mencengkram erat bajuku. Biasanya aku memang selalu melakukan hal ini di Sabtu pagi, menangis setelah anak-anakku pergi ke rumah Papa-nya.
“Hei, Freya.”
Aku mendongakan kepalaku mendengar namaku disebut.
Dia..
Mau apa lagi dia mendatangiku?
Aku berusaha mengulas senyum, terpaksa. Kemudian, cepat-cepat aku menyeka air mataku yang membasahi pipiku.
“Aku tahu kau selalu menangis diSabtu pagi. Disaat anak-anak kita, oh maaf tidak ada lagi kita. Disaat anak-anak ingin berkunjung ke rumahku. Kenapa Frey?” Nada bicaranya berubah turun dari sebelumnya, mungkin ia merasakan apa yang aku rasakan sebagai orang tua. Dulu kami pernah bersama, saling mencintai tapi sekarang semuanya berubah bahkan, tidak ada lagi cinta diantara kita dan aku yakin itu.
“Aku… aku hanya tidak ingin kehilangan Caitlyn dan Connor. Itu saja!”
Tiba-tiba lelaki yang bernama Zayn Malik itupun memelukku, mantan suamiku. “Aku tahu apa yang kau rasakan, Frey. Aku tahu, maafkan aku atas semuanya. Aku mungkin bukan suamimu yang baik. Jadi kita tidak bisa mempertahankan hubungan ini. Freya, jangan menangis. Anak-anak akan aku jaga selama mereka tidak bersamamu. Aku mohon, karena melihatmu menangis di hari Sabtu membuatku cukup terluka karena itu…”
* * * *
ITS BONUS SHORT STORY AYEE(: btw, aku nunggu ini sampe kurang lebih 20 votes ya buat update request-an dari kalian semua. aku males nulis gara-gara silent readers haha, ya kalo makin banyak silent readers ya request-annya males gue bikin:(((((((( sedih lah mana bentar lagi ukk #edisicurhat b y e
YOU ARE READING
Daydreamer ⇨ Random One Shot{s}
Фанфикшн{Request closed for a while. One condition: Follow me:)} ❝Daydreaming is okay, even better if you can make some lasting memory out of it.❞ [©hemmingsstagram]
