Ingatan Kelabu

1.3K 237 16
                                        


 "Dari mana saja anda selama ini tuan muda?" tanya Woojin setelah meletakkan gelas berisi darah ke meja lalu duduk di sofa menghadap donghyun.

"Berkelana, membosankan hanya berdiam di satu tempat," Donghyun mengambil gelas itu lalu meminumnya seteguk. Bibirnya memerah karena sisa-sisa darah yang menempel.

"Anda sepertinya sangat menikmati kehidupan anda yang yang sekarang," sindir Haknyeon sambil melipat tangan di dada. Bahunya ia sandarkan ke punggung sofa.

Donghyun menyeringai kecil, "Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan selain menikmatinya."

Woojin menghela nafas pelan, "Anda sama sekali tak berubah tuan muda."

Donghyun meletakkan gelasnya ke meja lagi, ia terdiam sambil menunduk tanpa melepaskan tangannya dari pegangan gelas, perlahan ia memejamkan mata, "Sebenarnya aku ke sini untuk sebuah tujuan," ujarnya dengan menahan nafas.

"Tujuan?" Woojin mengernyitkan dahi, penasaran dengan tujuan apa yang dimaksud Donghyun.

Donghyun membuka matanya, perlahan ia melepaskan pegangan gelas dan mengangkat kepalanya untuk menatap Woojin, "Maafkan aku," ucapnya lirih.

Semua orang di ruangan itu terkejut, APA? Woojin tak salah dengar kan? tuan mudanya meminta maaf? Untuk apa?

Donghyun tiba-tiba berdiri, sontak membuat Guanlin, Haknyeon, Samuel, dan Jinyoung ikut berdiri. Tapi Woojin yang masih belum sepenuhnya mengerti dengan maksud Donghyun tak bergeming di tempat duduk.

"Aku pergi sekarang," ujarnya.

Suara berat Donghyun menyadarkan Woojin dari keterpakuannya, ia langsung bangkit dari kursi begitu Donghyun melangkah, "Biar kuantar sampai pintu."

"Tidak perlu," jawab Donghyun datar, segera setelah itu ia keluar dari rumah.

$%^&*()

.

.

.

Ada banyak hal tak terduga yang terjadi akhir-akhir ini, tapi bagi Woojin, peristiwa beberapa menit lalu adalah yang paling mengejutkan. Woojin tak tahu bagaimana Donghyun bisa menemukan mereka atau apa maksud dari permintaan maaf Donghyun. Seumur hidupnya baru kali ini ia mendengar tuan mudanya yang angkuh dan kejam, mengucapkan hal itu.

"Kurasa aku mengerti untuk apa dia datang dan mengucapkan permintaan maaf," ujar Guanlin.

Woojin tersadar dari lamunanya dan menatap Guanlin penuh rasa ingin tahu, "Katakan."

"Matanya, kau melihatnya kan hyung?"

Woojin mengangguk kecil dan perlahan ia mengerti maksud Guanlin.

"Menurutmu 300 tahun bisa mempengaruhi orang sepertinya?" ujar Haknyeon dengan nada mencibir.

"Menurutmu 300 tahun hidup sebagai vampire tak bisa mempengaruhi seseorang?" balas Woojin.

"Cih....kau bahkan masih setia padanya setelah apa yang dia lakukan," sindir Haknyeon, "Sistem kasta keluarga sudah berakhir, dia bukan tuan muda kita lagi."

Woojin menghela nafas panjang, ia tatap satu persatu saudara-saudaranya yang sedang duduk mengitari meja. Semuanya berwajah muram, satu-satunya yang terlihat paling kesal adalah Haknyeon. Woojin memahami benar kemarahannya, dan sejujurnya dia sendiri pun memiliki perasaan kesal yang sama.

"Tapi....., jika aku bertanya padamu, apa kau menerima hidupmu yang sekarang, apa jawabanmu Yeon?"

Haknyeon terdiam, kedua tangannya mengepal erat, tapi mulutnya bungkam. Bibirnya bergetar dan sorot matanya mengisyaratkan keraguan.

Let's PlayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang