00

26.9K 905 4
                                    

"Kamu sendiri, kan, yang menginginkan pernikahan ini?"

Raine hanya mengangguk lemah menanggapi pertanyaan kakak laki-lakinya itu. Ia tak tahu lagi pada siapa ia harus mengeluh tentang pernikahan dadakannya yang ia jamin tak akan berjalan baik itu. Sedang, orang tuanya pasti tak akan menerima segala penolakannya, lagi.

"Terus, apa masalahnya?" Rian mengaduk teh hangat di depannya seraya memandang adiknya bingung.

Raine menghembuskan napasnya perlahan, "Gini, kak--"

Tiba-tiba suara klakson mobil menguar memenuhi ruang tamu, menginterupsi pembicaraan mereka yang bahkan belum sampai ke orientasi permasalahannya. Rian langsung menegakkan lehernya untuk melihat siapa yang datang, sedangkan Raine sibuk mengetuk-ngetuk meja kaca di depannya seolah ia tak mendengar suara barusan.

Rian kembali menatap adiknya, "Calon suamimu sudah datang."

Tanpa menunggu lagi, Raine langsung menyambar tasnya dan berlari keluar untuk menemui calon suaminya. Ia berusaha memasang senyum terbaiknya ketika menyadari kakaknya mengekor di balik punggungnya. Rian tak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

Kaca gelap mengkilap di depannya itu terbuka perlahan. Menampakkan seorang pria dengan kemeja putih yang membungkus otot di lengan dan dadanya hingga terlihat begitu maskulin. Tangan pria itu juga melambai ramah pada Rian yang masih berdiri dengan tangan terlipat di balik punggung Raine.

Raine berusaha untuk tetap tersenyum bahagia ketika tubuhnya sudah berada di dalam mobil dengan aroma khas yang sudah familiar belakangan ini. Aroma pria itu. Aroma yang sebenarnya sangat ia benci setengah mati.

"Selamat pagi, Raine." Suara serak itu langsung menyapanya tepat saat mata mereka bertemu.

Ia hampir melontarkan senyum sinis sebelum menyadari bahwa kakak laki-lakinya masih berada di ujung teras rumah, seolah mengawasi gerak-gerik mereka berdua. Ia kembali tersenyum pada pria tampan di sampingnya,

"Pagi, Lec,"

Alfa Romeo merah marun itu langsung bergerak pelan setelah mereka berdua melambai pada Rian yang masih mematung di ujung teras, menyusuri halaman depan rumah keluarga Theoran yang luasnya mencapai seratus meter persegi. Pagar tinggi di ujung halaman mereka juga sudah terbuka lebar untuk membiarkan mereka lewat.

Tepat saat Alfa Romeo Alec melewati pagar tinggi rumahnya, Raine langsung melepaskan napas seberat-beratnya kemudian menatap keluar lewat jendela yang ada di ujung sikunya. Ia sedang tidak dalam mood untuk mengajak gunung es itu bicara.

"Aku harus jemput V di bandara. Jadi, ambil gaun kamu sendiri." Tukas Alec tanpa melihat ke arahnya.

Raine memilih untuk diam dan kembali menatap jalanan yang mulai padat. Ia sudah menduga apa yang ada di kepala Alec bahkan sebelum pria itu berniat untuk memberi tahunya. Dan dugaanya tak pernah meleset tentang Veronica.

Tak ada lagi di antara mereka berdua yang membuka pembicaraan selama perjalanan. Hingga akhirnya mereka sampai di halte yang berada di depan kampus Raine. Tempat Raine biasanya turun.

"Turun," perintah Alec terdengar sinis. Raine bahkan bisa mendengar rahang kokoh pria itu ikut menggertak.

Raine terdiam sebentar, seraya mengawasi kaca spion samping yang menampakkan dua gadis jangkung yang tengah berjalan pelan menyusuri trotoar yang berada di balik halte.

Alec mendecak pelan, "Kenapa? Kamu nggak bisa ambil gaunnya sendiri?"

Belum sempat Raine menyahut, Alec kembali menambahkan dengan nada ketus,

"Jangan manja, Raine. Aku sama kamu itu menikah cuma karena--"

"Stop it, Lec. Kamu sendiri, kan, yang bilang supaya jangan sampai temen-temen aku tahu?" Sahut Raine kesal. Ia kembali menambahkan, "Please, don't ruin my day, over again."

Tanpa menunggu jawaban dari Alec, Raine sudah buru-buru membuka pintu di sampingnya dan turun. Ia sangat menyesal pernah berpikir bahwa menikah dengan Alec adalah satu-satunya jalan keluar.

Alec bukanlah jalan keluar sama sekali. Alec adalah jalan menuju neraka.

"Oh iya, Lec. For your information aja, dua cewek itu sahabat aku dari SMP. Maksudku, kamu sebagai calon suami aku, perlu tahu." Ujar Raine tersenyum kecut seraya menutup pintu mobil di belakangnya.

Raine berjalan melewati halte yang sepi untuk mencapai trotoar yang mengarah langsung ke kampusnya. Ia tidak ingin Alec melihatnya menunduk untuk menyembunyikan wajah sedihnya. Ia tidak ingin Alec tahu bahwa dirinya lemah.

***

"Re, kafe yuk," ajak Gaby menghampiri Raine yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.

Raine menggeleng, "Sorry, Gabe, mungkin besok. Aku harus nemenin Kak Rian cari kado buat Kak Sarah."

"Re, kemarin kamu bilang mau nemenin Kak Rian buat beli buku resep. Terus kemarinnya lagi, kamu bilang mau nemenin Kak Rian buat beli baju." Keluh Kanya seraya melipat kedua tangannya kesal.

"Re, kita tuh nggak baru aja kenal tadi pagi. Kamu harusnya cari alasan yang lebih logis." Sambung Gaby.

Raine akhirnya menghembuskan nafas berat, "Tapi itu benar."

"Re, we both know that Kak Rian itu cowok paling macho yang pernah kita temuin. Dia hardly possible buat beli buku resep sedangkan kalian punya koki yang bisa masak Linggis Ala Mongolia." Ujar Gaby kini ikut melipat kedua tangannya sebal.

Raine tertawa, "Yang benar itu Linguine Alle Vongole."

"Masa bodoh, pokoknya kita tetep harus jalan hari ini." Tegas Gaby berjalan melewati mejanya.

Kanya langsung menarik tangannya untuk mengekor di belakang Gaby, "Ayo, Re,"

"Iya, aku ikut."

Kafe tempat mereka biasanya berkumpul tampaknya cukup ramai hari ini. Padahal biasanya hanya mereka bertiga yang duduk di meja yang berbatasan langsung dengan kaca yang menghadap ke jalanan. Namun kini, hampir setiap meja penuh, bahkan meja mereka.

"Kayak biasa aja," ujar Raine pada Gaby yang sudah lebih dulu berdiri diikuti anggukan Kanya.

Mereka kemudian sibuk membicarakan kuliah mereka hari ini. Dan juga Mario, kekasih Gaby yang ke sepuluh di tahun ini. Mario adalah mahasiswa jurusan Teknik Elektro yang bulan lalu berhasil mengambil predikat sebagai Cowok Paling Fenomenal di acara tahunan kampus mereka.

"Raine?"

Raine yang sedang sibuk tertawa langsung menoleh ketika mendengar suara berat yang sudah familiar di telinganya. Suara berat itu. Ya,

"Alec?"

A / n

Hai! Iya ini aku lagi, amatiran yang sok-sokan publish cerita baru, over and over again. Plis jangan bosen, karena ini cerita baruuu [lagi]. Kali ini aku mengangkat cerita romansa dari Indonesia, which is jarang sekali aku lakukan, tapi aku mau coba siapa tahu sukses. Doakan saja yang terbaik. Hehe, enjoy! I hope you guys will like it (:

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang