"Re, kamu sakit?"
Raine menarik napas lambat-lambat. Merasa lelah ketika setiap pemilik mata di dunia hari ini menanyakan hal yang sama. Tapi ia juga tak bisa menyalahkan mereka semua yang peduli padanya, termasuk Toni, karena ia sendiri yang memutuskan untuk membelitkan syal putih di seluruh lehernya.
Raine merapatkan cardigan rajut yang juga dipakainya untuk menambah kesan bahwa ia benar-benar sakit hari ini. Ia juga menghindari segala jenis balutan bibir untuk lebih meyakinkan semua orang.
Tidak, ia sama sekali tidak sakit. Bahkan ia seratus sepuluh persen dalam keadaan sehat. Tetapi ia hanya merasa tidak mungkin membiarkan seluruh dunia melihat beberapa bercak merah yang rupanya masih menghiasi lehernya setelah semalam. Ia hanya tak menyangka bahwa bercak itu sukar hilang, bahkan jadi lebih parah dan kentara di atas kulit putih pucatnya.
Ia mengangguk pada Fara yang baru saja memperbanyak satu bendel berkas agak tebal di jajaran mesin fotocopy di depannya.
Gadis itu kini tersenyum lembut, "Get well soon, Re. Aku nggak nyangka ternyata kamu bisa sakit juga."
"Makasih, Far." Balas Raine berusaha membuat kekehan seperti orang sakit.
Baru saja Fara berlalu pergi, Toni sudah datang dengan secangkir teh hangat di tangannya. Entah mengapa hari ini Toni jadi tidak memakai modus kunonya untuk mendekati Raine, padahal pria itu juga sudah melihat bahwa ada sesuatu di antara Raine dan Landon. Yang jelas, palsu.
Toni meletakkan cangkir itu di atas meja Raine dengan senyum yang terlihat begitu cerah, "Diminum dulu, biar badan kamu hangat."
"Makasih, kak." Balas Raine berusaha tersenyum setulus mungkin pada pria yang berdiri di depannya itu.
Toni mengangguk, kemudian menarik kursi kosong di dekat Raine, "Cowok kamu mana?"
Raine baru ingat. Landon hari ini pergi ke proyek Surya untuk pengamatan lapangan langsung pertamanya. Ia tidak berada di tim yang sama dengan Landon dan Gaby, jadi ia dan beberapa tim lainnya harus menunggu giliran pengamatan.
Raine tersenyum kikuk sembari bergeser menjauh, "Ke proyek."
"Wah, bagus dong!" Timpal Toni hampir memekik di sampingnya. Pria itu kemudian menggaruk belakang kepalanya, "Maksud aku, bagus soalnya dia jadi ngerti kerja di lapangan."
Raine hanya dapat kembali tersenyum canggung. Ia jadi sulit fokus pada pekerjaannya dengan Toni yang terus mengawasi di sampingnya. Tatapan pria itu benar-benar mengurangi ruang geraknya.
Toni terus saja mengajaknya berbincang di kubikelnya yang terbilang sempit. Ia jadi merasa pusing dan risih sendiri. Ditambah tanpa kehadiran Landon yang membantunya di sekitar sini. Ataupun Alec yang masih tak bisa ditemuinya sejak malam tadi. Ya, malam yang itu.
Hingga akhirnya, Nate datang dari ujung tangga dan Raine langsung berdoa dalam hati kalau Nate dapat membantunya bebas. Benar saja, pria tinggi itu menatap mereka berdua dengan dahi mengernyit. Raine mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda pria itu harus segera kemari untuk menolongnya.
Nate berjalan mendekat dan menepuk bahu Toni yang masih sibuk membanggakan diri, "Heh, bro!"
Toni menoleh pelan, dan matanya langsung meredup takut ketika tahu siapa yang baru saja menepuk bahunya dengan lancang. Ia menjauhkan diri beberapa senti dari Raine, dan membuat gadis itu bernapas lega.
"Maaf, Pak, saya hanya kasih Raine teh hangat soalnya dia lagi sakit," ucapnya bersungut-sungut dengan air muka bersalah.
Nate melirik ke arah Raine yang kini tersenyum lebar padanya, "Gue saranin, sebaiknya lo jauhin cewek ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...