Raine mengerjapkan matanya lambat-lambat. Sinar matahari dari celah gorden membangunkannya dari mimpi aneh. Mimpi dimana ia berada di ranjang yang sama dengan Alec, membicarakan tentang calon-calon bayi mereka yang hanya sebuah ilusi. Tidak nyata. Dan mungkin tak akan pernah ada.
No way!
Tadi bukan mimpi.
Deru napas lembut nan hangat membelai dahinya yang kian berkerut bingung. Aroma maskulin yang sudah sangat familier merasuk ke dalam hidungnya, menjelma menjadi udara untuknya mengisi paru-paru. Ia mendongakkan kepalanya, dan dahinya langsung membentur bibir merah muda berisi milik pria yang merengkuhnya.
"Jangan banyak gerak," sergah sebuah suara serak dan dalam membuat tubuhnya langsung mengeras. Antara takut kehilangan, dan takut terlena.
Raine merasakan sebuah lengan mendorong punggungnya maju, merapatkan seantero jarak yang mungkin hanya semili jauhnya. Tangannya bahkan seperti sudah lama sekali melingkar, balas memeluk tubuh besar pria yang masih memejamkan matanya dengan damai itu.
Tadi itu bukan mimpi. Ulangnya sekali lagi, namun kali ini lebih mirip seperti peringatan keras agar ia tak main-main dengan harapannya. Lagi.
Alec kembali merapatkan jarak di antara mereka, padahal sudah sangat lekat hingga udara saja tidak bisa masuk. Jantung mereka berdetak cepat, beradu di dada mereka yang seolah bergabung menjadi satu.
Alec mendekatkan telapak tangannya yang terbuka di punggung tangan Raine. Kemudian ia tersenyum lega ketika gadis itu juga membuka telapak tangan mungilnya dan menautkan jemari mereka seperti jalinan benang rapi yang saling berpadu.
Tuhan belum menjelaskan mengapa tautan tangan mereka rasanya sangat pas.
Raine mendongakkan kepalanya sedikit, dan matanya langsung bertumbuk dengan milik Alec yang juga sudah balas menatapnya, bahkan sebelum ia sendiri sadar. Ujung bibir pria itu seperti berkedut untuk mempersiapkan senyuman. Tapi tidak, mungkin itu perasaannya saja.
Tunggu sebentar. Raine merasa ada yang salah dari bangun di pagi hari dengan suami sah yang merengkuh tubuhnya dengan erat seolah ia akan menghilang jika mereka berpisah satu mili saja. Ada yang salah. Ia tahu.
"Sophie!" Pekik mereka berdua hampir bersamaan.
Mereka berdua langsung beranjak dari ranjang, tak peduli apakah salah seorang dari mereka yang melepaskan pelukan mereka duluan atau bersamaan. Masalahnya kali ini jauh lebih gawat dari itu. Dan wajah Geri yang mengamuk sudah seperti terlukis di setiap dinding kamar.
Perasaan lega langsung menggelayuti keduanya ketika mata mereka sama-sama menangkap sesuatu berbentuk setengah lingkaran berwarna hitam di atas sofa malas yang ada di ruang keluarga. Televisi di depannya juga menyala, menampakkan kartun gadis kecil bergaun ungu yang mengenakan mahkota.
Sesuatu yang berwujud kepala Sophie itu menoleh ke arah mereka berdua seraya tersenyum. Mereka mungkin akan merindukan Sophie nantinya sebagai bayi yang tidak pernah menangis ataupun merajuk, merengek saja tidak. Pada intinya, gadis kecil itu sangat-sangat penurut dan manis.
"Nonton apa, Sophie?" Alec justru yang pertama bereaksi dengan mendekati gadis gempal itu.
Sophie menunjuk layar televisi di depannya dengan penuh semangat, "Sofia!"
Raine maju beberapa langkah untuk menjajari tubuh Alec yang condong ke depan seraya bersandar pada kepala sofa. Baik, kepala sofa sebenarnya sedikit membuatnya gugup sendiri. Apalagi dengan Alec yang berada di sampingnya. Tapi ia bersyukur, tidak ada pintu lift di sekitar sini.
"Kamu jagain Sophie bentar, ya? Aku mau belanja." Ujar Raine mencubit pipi Sophie gemas.
Merasa tak ada jawaban, Raine kembali bicara, "Nggak akan lama kok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...