A/n
Makasih banyak yaa semuanya yang udah support cerita ini dengan vote dan komen, jg yg udah mampir, aku enggak nyangka setelah kembali dari hiatus yang cukup lama karena kesibukan kuliah, ternyata kalian masih di sini😢 aku seneng bangettttttttt, support kalian bener-bener berarti banget buat akuu.Here we are kita kembali lagi yah buat menyelesaikan kisah Alec sm Raine.
***
Alec mengernyitkan dahinya tidak suka ketika kembali mendapati dirinya duduk seorang diri di meja makan. Ia mulai kehabisan cara untuk membuat gadis itu tak lagi menghindar darinya, secara fisik maupun psikis.
Sebegitu kuatkah prinsip Raine hingga membuat tembok pertahanan gadis itu begitu sukar untuk ditembus. Padahal mereka sudah beberapa kali berciuman secara terang-terangan begitu. Sangat mengejutkan.
Alec mengoleskan selai cokelat di atas roti gandumnya. Tangannya bahkan enggan menyentuh nasi goreng telur yang menjadi menu favorite nya semenjak orang tuanya pindah ke Amerika dua tahun lalu. Semenjak ia pindah ke puncak gedung apartemen yang ayahnya wariskan ini.
Ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sepuluh, dan ia masih di sini, menikmati sarapan pagi sederhananya seorang diri. Gadis itu pasti sudah berangkat sekitar tiga jam yang lalu dengan metromini yang juga melewati depan kantor tempat mereka bekerja. Seperti biasanya.
Semalam mereka kembali ke apartemen pukul dua lebih lima belas pagi. Ia terlalu lelah untuk mengingat bagaimana ia bisa tertidur setelah mereka berciuman di atap yang agak gerimis, dengan tubuh Raine menutupi seluruh kepalanya hingga ia tetap kering. Dan membuat rambut gadis itu basah kuyup diguyur hujan hingga berjam-jam.
"Um, Tuan," panggil salah seorang pelayan kakunya itu dari ujung meja.
Ia hanya mendongakkan kepalanya malas, seraya memberi gadis itu tatapan bahwa ia menunggu kelanjutan kalimatnya. Tetapi pelayan itu justru bergerak gelisah di tempatnya berdiri, seraya sedikit meringis gugup.
Pelayan itu menunduk, "Maaf, Tuan, saya hanya ingin bertanya. Apa Nyonya baik-baik saja?"
Alec mengernyitkan dahinya bingung. Pikirannya sudah berlarian kesana kemari menelaah maksud dari kalimat tanya yang pelayan itu lontarkan dengan kaku dan wajah yang agak pucat.
"Maksudnya?" Tanya Alec kini menaikkan sebelah alisnya tinggi-tinggi.
Pelayan itu menghembuskan napasnya pendek-pendek, "Tadi waktu saya datang, Nyonya jatuh di depan pintu kamar beliau."
"Wajah beliau pucat sekali. Saya sampai nggak teg--"
"Pucat?" Potong Alec cepat.
Alec tahu bahwa keadaan Raine memang tidak baik sejak ia membawa gadis itu pulang dalam keadaan terlelap. Kantung matanya agak memerah dan kelopaknya basah. Ia pikir gadis itu menangis dalam tidurnya. Tapi wajahnya tidak pucat.
Pelayan itu mengangguk ragu, "Iya, saya mau panggilin Dokter Dendi, tapi Nyonya bilang abis dari dokter sama Tuan,"
"Terus?" Tanya Alec lagi dengan nada tidak sabar.
"Terus Nyonya masuk ke kamar, dan belum keluar sampai sekarang."
Sedetik kemudian, gadis pelayan itu sudah berjingat mundur karena saking terkejutnya melihat majikannya itu tiba-tiba berdiri dari duduknya. Dengan dahi yang mengernyit dalam. Majikannya itu juga tidak mengatakan apapun lagi ketika mengambil langkah lebar-lebar menuju ke susunan anak tangga yang mengarah ke ruang keluarga.
Dasar cewek pembohong dan keras kepala. Batin Alec kesal sendiri.
Alec membuka perlahan pintu kamar Raine yang agak terbuka sedikit, menampakkan keadaan kamar yang remang. Ia langsung menghembuskan napas kasar ketika matanya langsung menangkap tubuh gadis yang terkulai lemah di balik selimut putih. Wajahnya terlihat sangat pucat meski di bawah penerangan yang sangat minim sekalipun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...