27

7.4K 517 11
                                    

Raine termenung di mulut jendela seraya menatap kosong ke arah rintik hujan yang masih tak henti-hentinya menampar atap yang menaungi jendela kamarnya. Ia dapat melihat dari kejauhan kebun teh terhampar luas hingga berhektar-hektar jauhnya.

Melihat hijaunya pemandangan di depan matanya, ia jadi kembali teringat pada kejadian tadi. Kejadian dimana ia sendiri juga masih tak yakin berhasil melewatinya tanpa jatuh pingsan. Padahal ia sudah bersiap jika memang ia akan terkapar tak sadarkan diri di atas tanah berlumpur itu.

Kejadian dimana ia akhirnya mendapatkan ciuman pertamanya. Dengan Alexander Raul Duncan, suaminya yang kini tengah mandi dan belum menyatakan apa yang membawanya jauh-jauh kesini. Selain mengajarkannya cara berciuman, tentu saja.

Raine tersenyum melihat rintik-rintik air yang bergelimangan di luar. Pikirannya masih melayang jauh pada ciuman pertamanya tadi. Rasanya luar biasa dahsyat hingga ia sendiri bingung bagaimana menjelaskannya. Ditambah melihat sebuah cincin berlian melingkar di jari manis pria itu membuatnya, jujur, agak sedikit senang.

"Lihatin hujan lagi?" Tanya Alec dengan suara datar dan tentu saja, dingin.

Raine tidak menoleh. Lebih tepatnya tidak bisa. Ia masih tak sanggup untuk menatap langsung ke arah pria tegap yang mungkin sedang berdiri tak jauh darinya dengan pakaian lama ayahnya. Baju mereka sebelumnya sama-sama basah kuyup dan tak bisa kering dalam waktu lima menit.

Raine buru-buru menghapus senyuman dari bibirnya ketika mendengar suara derap langkah mendekat. Gengsinya masih setinggi langit untuk memperlihatkan pada pria itu bahwa ia sebenarnya senang. Entah karena hujan, atau karena kejadian di bawah hujan tadi.

Ia melirik sedikit dan luar biasa terkejut ketika matanya langsung jatuh pada cincin bermata berlian yang mengkilap di jari manis Alec. Entah mengapa rasanya kilauan cincin itu selalu menarik perhatiannya sejak tadi.

Seolah semua kejadian hari ini selalu dapat disangkut pautkan pada cincin itu. Walaupun sebenarnya sama sekali tak ada hubungannya.

Mungkin ia hanya belum terbiasa saja melihat Alec mengenakan cincin itu untuk pertama kali selama mereka menikah.

Alec menghembuskan napas berat di balik punggungnya, "Nanti malem, rekan kerja aku ngundang kita buat makan malam."

"Kita?" Tanya Raine berusaha mengabaikan detak jantungnya yang kembali tak menentu.

Alec seperti memutar tubuhnya dan duduk di tepi ranjang. Mata elang pria itu masih mengawasi setiap gerak-gerik kecil yang Raine lakukan untuk menghilangkan suasana canggungnya sendiri.

"Iya. Aku udah beli gaun buat kamu, jadi nggak usah khawatir." Timpal Alec dengan suara tenang dan datar.

Raine kini memberanikan diri untuk menoleh, tapi masih belum berani untuk menatap mata pria itu secara langsung, "Aku punya banyak gaun, Lec. Kenapa harus beli?"

"Gaun-gaun kamu mungkin nggak ada yang cocok sama setelan aku nanti malem." Jawab Alec ringan-ringan saja.

Raine terdiam. Tidak tahu harus menanggapi apa. Dan kembali, matanya tertuju pada cincin pernikahan mereka yang melingkar di jari manis Alec. Serius, ia harus segera berhenti memperhatikan cincin itu sebelum Alec tahu dan melepaskannya, lagi. 

Suara hujan yang menitik di luar menjadi suara latar satu-satunya yang mengisi telinga mereka. Tidak ada yang berniat membuka mulut untuk bicara. Setidaknya mereka seharusnya bersyukur suara itu dapat mengurangi suasana canggung yang begitu mencekik di antara mereka berdua yang kini saling berhadap-hadapan.

Lutut Raine mulai memantul-mantul menunggu kalimat apalagi yang akan pria itu lontarkan ketika terus menatapnya dalam artian yang masih kurang masuk akal untuknya. Entahlah, hanya perasaannya saja atau memang Alec terus mencuri pandang ke arah bibirnya. Walaupun sebenarnya, ia sendiri juga masih gencar menghindari mata Alec yang sepertinya sangat ingin bertemu dengan miliknya itu.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang