"Kamu mandi duluan, aku tunggu di luar."
Raine mengangguk pelan kemudian mengambil duduk di tepi ranjang seraya memperhatikan punggung pria yang berjalan melintasi ruang utama itu. Ia tak menyangka. Semua ini sungguh jauh di luar ekspektasinya. Bahkan akal sehatnya.
Berada di pondok yang sama dengan Alec saja sudah membuat jantungnya terus berdentum tak karuan. Apalagi berada di sebuah pondok dari honeymoon suite paling romantis di Hawaii bersama dengan Alec. Astaga, tubuhnya menjadi panas dingin, lagi dan lagi.
Ia mendongak, menatap ke arah kain putih tipis nan panjang yang tergantung di langit-langit ranjang. Ranjang mereka. Ranjang yang punya beberapa tombol untuk mengubah suasana menjadi lebih romantis dan seksi untuk pasangan yang bermain di atasnya. Semua dinding di sini bahkan terbuat dari kaca transparan. Benar-benar tak ada privasi.
Raine merendam dirinya dengan perasaan was-was. Takut jika Alec tiba-tiba berubah pikiran dan kembali ke dalam karena udara di luar terlalu dingin. Bahkan untuk lengan berototnya, dan dadanya yang kekar. Juga punggungnya yang terkesan sangat maskulin. Perutnya bahkan membentuk jajaran petak keras.
Raine sontak menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Mandi berlama-lama akan membuat fantasi liarnya itu semakin menjadi-jadi. Jika tentang Cameron Dallas ataupun Toni Mahfud ia masih bisa terima. Tapi ini tentang suaminya sendiri, yang kini berdiri di luar, mungkin dengan seratus ribu penyesalan karena telah menerima ajakan ibunya.
Setelah selesai mandi, ia diam-diam membersihkan diri dengan segala peralatan yang ada di sisi shower. Hanya untuk gerakan antisipasi, pikirnya.
Ia membuka kopernya dan langsung menutupnya lagi dengan cepat. Ia sontak menoleh pada pintu yang masih tertutup dengan bayangan pria berkaus hitam sedang berdiri di luar. Ia takut jika Alec akan melihat isinya. Ia saja hampir pingsan melihatnya, apalagi Alec.
Raine memeriksa kartu nama yang tergantung di pegangan kopernya. Benar, ini memang kopernya. Tapi seingatnya, ia tak pernah membawa sebagian besar dari pakaian vulgar ini. Ia bahkan tak pernah membeli pakaian semacam gaun tidur transparan seumur hidupnya. Astaga, Alec akan benar-benar menganggapnya jalang.
"Lec, aku udah selesai," ujar Raine ketika sudah berada di luar pondok. Dengan celana berbahan jeans panjang dan kaus berwarna merah muda.
Jantungnya berdegup kencang ketika pria yang tadinya bersandar pada salah satu pembatas kayu, kini melangkah ke arahnya. Wajahnya jadi terkesan lebih nakal semenjak mereka berdua sama-sama menemukan ini adalah salah satu pondok bulan madu. Walau sebenarnya pria itu tampak kelelahan.
"Kamu di dalem aja," balas Alec ketika sudah berdiri di ujung kakinya yang telanjang.
Tubuh Raine menegang. Ia sontak menggeleng pelan, "Aku nggak papa, kok, di luar."
"Jangan, nanti kamu sakit." Cegah Alec ketika Raine hendak melewati pria itu begitu saja, "Kamu bisa duduk di sofa."
Raine menunjuk ke arah sofa yang secara tak langsung menghadap ke arah kamar mandi itu, "Kamu pasti bercanda."
"Atau di kasur."
Raine berdecak dengan pipi bersemu merah, "Alec!"
Alec tertawa menggoda, "Okay, kamu bisa main piano, cuma itu 'kan yang nggak menghadap langsung ke kamar?"
***
Angin malam berhembus kencang. Meretakkan saraf siapapun yang masih nekat berada di luar pondok tengah laut yang berjajar dengan jarak saling berjauhan. Tapi Raine tak peduli, angin menggigit masih lebih baik daripada keadaan mereka sekarang ini.Setelah perdebatan yang begitu panjang, Alec dan Raine akhirnya sepakat untuk tidur di satu ranjang dengan pakaian utuh juga tirai dinding yang tertutup. Tapi rasanya semua itu belum cukup untuk Raine. Ia masih merasa jurang di antara mereka belum menutup, bahkan nganga nya bertambah lebar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...