"I don't know you can cook."
Alec menuangkan sup yang masih kelewat panas ke dalam mangkuk cekung di ujung jemarinya. Sorot matanya yang tajam itu seolah mengobrak-abrik setiap senti permukaan sup yang terkesan acak-acakan dan tidak enak dipandang. Ia menggeram pelan.
Derap langkah kaki di belakangnya terdengar padu dengan gemuruh mesin kopi yang sudah lama terduduk di ujung pantry nya. Ia memutar kedua bola matanya kesal mendapati adik lelakinya itu datang lagi tanpa diundang. Ditambah, menggunakan lift pribadinya, lagi.
Jacob melipat kedua tangan di dadanya, berusaha memancing penjelasan yang mungkin bisa kakak lelaki batunya itu berikan. Tapi tidak, Alec bahkan seperti tidak mau repot bergerak untuk menunjukkan bahwa keberadaannya itu mempengaruhi atmosfir batunya.
"You must be joking, Lec," Telunjuk besar Jacob bergantian teracung dari arah asap sup yang mengepul di udara ke langit-langit dapur.
Jacob meregangkan lehernya untuk mengintip dari balik bahu lebar kakaknya yang bergerak naik turun perlahan. Ia kemudian mendecak, "Maksud gue, lo nggak mungkin bawa ini ke sana, buat dia, 'kan?"
"Berisik." Hardik Alec tanpa melirik ke arah kepala adiknya yang terjulur di belakangnya.
Jacob terkekeh. Ia jadi ingin sekali segera memberi tahu ibunya bahwa rupanya wanita pertama yang akan mencicipi masakan kakak batunya itu bukanlah ibunya, wanita yang melahirkan mereka berdua.
Jacob menggeserkan tubuhnya ketika pria yang beberapa senti lebih tinggi dan kekar itu memutar tubuhnya dengan nampan berisi semangkuk sup panas, juga sebuah apel merah ranum. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa secara terang-terangan melihat kakaknya bisa bersikap begitu manusiawi pada istri kontraknya itu.
Alec terus melangkahkan kakinya menjauh, matanya melotot tajam ke arah adiknya yang masih sibuk tertawa keras di sisi bahunya, "Kalau lo ke sini cuma mau gosip dan ketawa-ketawa nggak jelas, mending lo pergi."
"Tadinya gue mau ngobrol sama Raine, soal Glen."
Alec langsung menyambar, "Glen? Glen Bramanta?"
Jacob mengedikkan bahunya kemudian bersandar pada meja bar tinggi yang mencapai punggungnya, "Who else?"
"Mau apa?" Tanya Alec dengan gemuruh suara yang tertahan.
Jacob menghela napas lelah, "Itu dia yang mau gue tanyain ke Raine. Kemarin Glen nyariin dia, kata pacarnya udah tiga atau empat hari nggak ke kantor."
"Empat." Sahut Alec dengan nada sengit.
Pikirannya langsung mengembara pada kemungkinan nekat lain yang akan diambil Chase untuk mendapatkan Raine, lagi. Kemarin, di pagi buta, ia melihat mobil Chase terparkir di dekat pintu keluar ketika ia hendak menyeberang di jalan raya yang lengang. Namun saat itu ia tak punya waktu untuk memikirkan pria bejat itu.
Alec melangkahkan kakinya menyusuri tangga berbahan marmer yang berkelap-kelip di bawah serdadu cahaya lampu di langit-langit. Ia jarang menyalakan lampu di siang hari. Atau, ia jarang berada di rumah untuk menyalakan lampu di siang hari.
Sementara langkah kakinya menggertak lantai, telinganya tak sengaja menangkap suara lembut samar-samar dari gadis di balik pintu kamarnya. Entah mengapa, hatinya jadi was-was membayangkan Glen lah orang yang berani menghubungi gadis itu ketika masih jatuh sakit.
"... bisa, sih, Tante. Tapi nggak janji."
Gadis itu mengangkat kepalanya ke arah Alec yang kini sudah melangkah mendekat. Kedua bola mata pucat gadis itu seolah berbinar-binar ketika melihat mangkuk yang dibawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...