25

7.3K 484 19
                                    

"Rere, ayo makan dulu. Nenek udah buatin oseng-oseng kecambah, loh."

Raine hanya tersenyum hambar menanggapi Neneknya yang baru saja berlalu ke dapur. Untuk yang kesekian kalinya. Ia sedang tidak ingin makan apapun, bahkan melakukan apapun. Ia hanya butuh waktu untuk sendiri. Tepatnya, berdiam diri.

Setelah Alec menampar dan memakinya siang tadi, ia langsung pergi dari kantor Alec. Ia tidak mengerti dimana letak kesalahannya hingga Alec menampar pipinya dan mengatainya seorang jalang lagi. Alec bahkan tidak mengejarnya ketika ia pergi meninggalkan pria itu begitu saja. Dengan air mata mengalir deras.

Raine menatap hujan yang menitik di luar jendela kamar lamanya yang terbuka lebar. Langit Bandung memang indah. Apalagi ketika hujan turun seperti sekarang ini. Udaranya juga jadi terkesan lembab dan dingin membuat suasana hatinya sedikit lebih tenang.

Ia mengeluarkan sebuah cincin bermata berlian dari saku kemejanya. Dan tangisnya kembali pecah ketika kenangan semalam menjalar cepat di kepalanya seperti virus. Ia langsung memeluk lututnya yang bergetar.

Ia tidak tahu mengapa pikirannya bisa kacau balau hanya karena makhluk bernama Alec. Makhluk yang punya kodrat sebagai sesuatu yang seharusnya sangat dibencinya setengah mati. Bukan sesuatu yang perlu ditangisinya hingga ke Bandung, tempat neneknya tinggal.

"Sudah, nduk. Katanya kesini mau nemenin Nenek, kok malah nangis terus? Kenapa?" Tanya neneknya lembut seraya mengelus puncak kepala Raine perlahan.

Raine terisak di dalam rengkuhan tubuhnya sendiri. Ia tidak tahu bagaimana bisa perbuatan Alec bisa membuat dadanya se sesak ini. Tetapi, membayangkan kejadian tadi lagi, membuat dadanya kian terasa sakit dan perih.

Bagian ranjang di sampingnya melesak sedikit, pertanda neneknya sudah duduk di situ. Neneknya menghela napas berat, "Sayang, tahu, nggak? Dulu itu kakek kamu galak banget. Tanya Papa kamu kalau nggak percaya. Pokoknya galak banget."

Raine masih terisak walaupun samar-samar mendengar suara neneknya yang mulai pasang surut karena usia. Ia tidak merubah posisinya, takut jika neneknya berhenti menceritakan kisah tentang kakek yang tidak pernah dipunyainya itu. Kakeknya memang sudah meninggal beberapa tahun sebelum ia lahir. Tapi entah mengapa, ia merasa merindukan kakeknya.

Neneknya tertawa sendu dengan mata bening yang seolah menerawang jauh ke dalam kenangan lamanya, "Waktu itu pernah, Nenek memutuskan untuk mengguggat cerai kakek kamu. Soalnya nenek kasihan sama Papa dan paman kamu. Setiap hari pasti kena marah. Tapi kakek kamu nggak mau."

"Berkali-kali Nenek berdoa supaya kakek berubah. Berubah jadi baik, jadi ramah, jadi kayak bapak-bapak di sekitar rumah yang kelihatan sayang sama keluarga mereka." Lanjut neneknya kemudian menghela napas berat, "Nenek sedih, anak-anak nenek semuanya dididik dengan cara keras. Hukuman mereka pun sering kelewatan kalau menurut nenek. Dan akhirnya nenek sering mengajukan gugatan cerai."

Kini Raine akhirnya berani mendongakkan kepalanya pelan. Memperlihatkan matanya yang basah dan merah. Tangannya dengan cepat meraih bantal yang tak jauh dari tempatnya duduk, kemudian meletakkannya di atas lutut dan kembali membenamkan wajahnya hingga sebatas hidung.

Neneknya masih tersenyum hambar ke arah langit mendung di luar, seolah dapat melihat kakeknya ikut tersenyum di sana.

"Terus sampai akhirnya Papa kamu lulus sebagai sarjana termuda dan terbaik di kampus. Paman kamu juga nyusul dapet beasiswa sampe S2 di Oxford. Tapi tetep aja, Kakek kamu belum berubah. Tetep galak, tetep kejamlah sama keluarga, juga nggak ada bangga-bangganya sama mereka berdua." Cerita Neneknya dengan air muka bersinar.

"Nenek terus berdoa sama Tuhan. Buat bikin Kakek berubah, atau seenggaknya biar Kakekmu itu sadar kalau anak-anaknya itu udah sukses. Sampai waktu Papa kamu bikin usaha baru, Kakek kamu tetep aja nggak nunjukin kalau dia nggak bangga. Papa kamu bahkan sampai nangis karena nggak pernah bisa bikin kakek bangga."

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang