"Kalau saya menemukan nama kalian di kolom terlambat, saya akan beri kalian sanksi tegas, mengerti?"
Raine menggerak-gerakan kakinya cepat seraya menatap gelisah ke arah pintu masuk lobby yang setiap beberapa detik sekali terbuka. Besar harapan di hatinya untuk tidak bertemu dengan pria itu pagi ini, atau bahkan, sepanjang hari ini.
Matanya kembali beralih pada sepatu bertumit tinggi mengkilap yang dipakainya hari ini sebagai ketentuan mahasiswa kuliah lapangan yang Pak Andre berikan. Ia sebenarnya lebih suka mengenakan celana berbahan jeans dan sepatu converse nya yang praktis, terlebih, tidak terlalu mencolok mata seperti ini.
Ia ingin sekali menuntut kampusnya karena telah membuatnya kembali berada dalam area yang sama dengan Alec. Padahal ia sudah mati-matian mencari cara untuk menghindar dari pria itu di rumah dengan berbagai macam alasan. Tetapi sekarang, ia justru datang dan tak lagi bisa menghindar.
Gaby menyenggol bahunya membuatnya hampir tersungkur, "Lihat, deh, Nathan Anggar. Kay, mending kamu move on ke dia aja, deh."
Raine mendongak, dan langsung menemukan Nate berdiri di samping Pak Andre yang kepalanya hampir botak. Ia merasakan tubuhnya berdesir ketika membayangkan cara Alec datang dari sisi manapun di lobby ini, kemudian memberinya tatapan tajam yang begitu menusuk.
"Udah ganteng, mapan lagi." Tambah Gaby disertai kedikan bahu dari Kanya yang sibuk dengan rok span yang mengekang pahanya.
Gaby kemudian menjentikkan jemarinya di udara, "Atau Alec Duncan?"
Tubuh Raine langsung berjingat ketika mendengar nama pria itu menguar begitu saja di udara. Mengapa harus nama itu yang harus Gaby ucapkan di saat-saat seperti ini.
"He is hotter than hell. Kalian harus lihat perut dan punggungnya, astaga," Gaby mulai mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahnya.
Kanya mendesah pelan, "Kita harus cari target yang lebih rasional. Alec Duncan adalah sebuah klise. Dan aku nggak mau bermain setinggi itu."
"Justru kamu harus bermain setinggi itu, Kay. We called it gengsi." Elak Gaby seraya menyelipkan helai rambut ke belakang telinganya.
Kanya menggeleng, "Alec Duncan itu bukan gengsi. Tapi ngebet. Lagian, dia udah punya Veronica dan istrinya."
"Istri? Stfu, Kay, jangan bercanda!" Pekik Gaby spontan.
Raine semakin merasa gelisah. Ia tak bisa mengatakan pada teman-temannya bahwa hal itu memang benar. Tentang Veronica, juga tentang dirinya sebagai seorang istri dari Alec Duncan. Ia tidak bisa, belum waktunya.
"Kalau kalian bertiga berisik lagi, saya harap laporan pertama kalian sudah ada di meja saya istirahat nanti, paham?" Tegur Pak Andre membuat semua mahasiswa satu jurusan mereka menoleh.
Gaby hanya tersenyum bodoh, sementara Kanya bersikap seolah tidak mendengar suara yang menegurnya tadi. Begitu pula Raine yang matanya masih jelalatan mencari keberadaan pria yang membuat pikirannya sedari tadi tak tenang itu.
Kanya memajukan kepalanya di antara mereka bertiga ketika Pak Andre kembali berbicara dengan suara tinggi. Ia menempelkan telapak tangan di pipinya, mungkin menambah kesan jika ia sedang membisikkan sesuatu yang serius dan dunia tak boleh tahu.
"Iya, istri. Papa Clara sendiri yang dateng ke pernikahan Alec sebulan lalu." Bisik Kanya menaikkan sebelah alisnya tanda ia tidak bohong, dan mereka berdua harus percaya.
Clara adalah sepupu Kanya yang masih kelas dua SMA, sangat tersohor, bahkan di kalangan mahasiswa tingkat akhir seperti mereka. Ia tinggal tak jauh dari kampus mereka, dan itulah bagaimana ia sering menjadi bahan omongan karena kehidupannya yang melejit. Clara bahkan menyewa tiga pengawal berpostur tubuh besar seperti Johnson Dwayne saat pergi ke Coachella di Amerika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...