36

6.7K 488 12
                                    

Raine memeluk lututnya erat-erat. Tubuhnya gemetaran dan bulu kuduknya berdiri setiap kali udara dari pendingin berhembus di lengannya. Rumah yang setiap harinya sepi, jadi terasa mati ketika ia hanya seorang diri di sini. Meringkuk kedinginan tanpa tahu apa yang selanjutnya terjadi.

Badai sedang senang sekali mengobrak-abrik seisi Jakarta malam ini, dengan angin yang terus saja menumbuk keras setiap jendela kaca yang mengarah keluar. Hujan juga tak henti-hentinya beradu sengit dengan suara petir yang terdengar begitu mengerikan, apalagi di tengah malam seperti ini.

Raine meringkuk lebih dalam. Jantungnya hampir melompat setiap kali petir menyambar dari angkasa ke permukaan bumi entah di sebelah mana. Ia bahkan seperti dapat merasakan petir itu menggosongkan telinganya karena terdengar begitu dekat.

Nate bohong. Begitu pikirnya ketika penantiannya selama dua hari ini tak menghasilkan apa-apa selain omong kosong. Dan kini ia seperti dihadiahi cuaca yang luar biasa mengerikan dari Yang Maha Kuasa karena mempercayai Nate yang mengatakan pria itu akan kembali.

Nyatanya tidak. Pria itu bahkan tidak muncul di hari ketiga kepergiannya. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Bahkan tanpa sesuatu yang menandakan bahwa pria itu memang masih ada di dunianya. Di dunia Raine sendiri.

Ia merasa seperti dikhianati. Tapi oleh siapa? Pria itu memang tidak pernah memberinya kepastian mengenai masa depan mereka yang abstrak dan semakin mengabur setiap harinya. Jadi, bukan salah pria itu juga karena telah membuatnya sakit hati seperti ini.

Pria itu mungkin saja memang sudah kembali ke Indonesia di hari kedua kepergiannya. Tapi pria itu tidak atau enggan kembali ke rumah. Rumahnya. Rumah mereka berdua selama satu bulan lebih beberapa hari.

Memikirkan kemungkinan yang satu itu membuat hatinya semakin perih.

Raine akhirnya memutuskan untuk pergi dari kamarnya. Melewati lorong remang hingga sampai ke sebuah pintu yang terletak lumayan jauh dari tempatnya pergi tadi. Kamar Alec.

Ruangan itu memang besar, dan punya cukup penerangan. Tapi rasanya seperti tak pernah ditempati selama puluhan tahun. Ranjangnya juga besar dan kelewat rapi, tapi lebih mirip seperti barang koleksi daripada tempat tidur. Kamar pria itu terasa hampa dan tak bernyawa.

Raine bergelung pelan di atas ranjang, berusaha menyerap setiap aroma dan apapun yang tersisa dari pria itu. Alih-alih mendapatkan sisa fisik dari pria itu, ia justru mendapati dirinya menangis dengan pikiran yang mengembara pada setiap momen yang dilaluinya dengan pria itu.

Pada setiap luka yang terpaksa harus dibukanya lagi. Luka-luka paling manis yang pernah didapatkannya dari pria itu.

Aku rela, Lec, terluka selamanya asal kamu kembali.

Raine meringkuk lebih dalam. Tangannya dengan sigap memegangi dadanya yang terasa ngilu ketika bayangan akan air muka kecewa pria itu kembali melintas di pikirannya seperti sebuah petir. Cepat namun terasa sangat memilukan hingga ia sendiri tak kuasa menahannya.

Suara pintu lift terbuka menguar dalam waktu persis sedetik, mencekik napasnya hingga ia terpaksa harus menahan isakannya dan mengatupkan matanya rapat-rapat. Ia meringkuk lebih dalam lagi. Berpura-pura untuk tidur. Atau mati. Yang mana yang paling bagus saat ini.

Derap langkah berat mendominasi udara. Berusaha bersaing dengan badai mengamuk di luar sana. Suara tangan menepuk-nepuk kain kaku dengan tempo agak rapat dan pelan, menjelaskan bahwa ia masih mengenakan jaket tebalnya hingga ke dalam.

Suara deheman agak keras seakan melontarkan jantung Raine hingga ke atas karpet mahal di bawah kaki ranjang. Ia langsung menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah pintu masuk dengan memaksakan seluruh sarafnya yang menegang karena takut.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang