"Makan dulu, Lec,"
Alec hanya mematung di ujung tangga seraya memincingkan matanya bingung melihat pemandangan yang tak biasa terjadi di rumahnya. Otaknya bahkan masih sulit mencerna kalimat yang baru saja dilontarkan gadis itu.
Ia memang belum makan karena baru saja turun dari ranjang. Dan usahanya untuk menegakkan tubuhnya, jutaan kali lebih keras daripada ia harus berjalan ke dapur. Energi yang didapatkannya semalam sudah habis, dan perutnya meraung minta untuk kembali diisi.
Dengan masakan gadis itu, kalau bisa.
Gadis itu mengalihkan pandangannya dari apapun yang sedang dilakukannya di atas pantry dapur. Tangannya juga berhenti bergerak, bersamaan dengan ujung kakinya yang mengetuk-ngetuk lantai tidak sabar.
Gadis itu memutar kepalanya sedikit, membuat matanya seperti berkilat tajam ke arah Alec yang masih berdiri, berpegangan pada pegangan tangga yang berupa kaca. Ujung bibirnya tidak terangkat membentuk sebuah senyuman. Hanya lurus dan datar.
"Jangan berdiri terus, nanti kaki kamu makin sakit." Ucap gadis itu kemudian kembali sibuk dengan beberapa jahe dan rempah lain di depannya.
Alec melangkah perlahan menuruni anak tangga dan mengambil kursi untuk duduk dengan kaku. Matanya masih tak bisa lepas dari gerak-gerik yang istrinya lakukan.
"Silahkan, Tuan, makanannya," ucap seorang pelayan wanita yang ia juga tak tahu namanya.
Alec hanya mengangguk cepat pada pelayan tadi, dan kembali menatap ke arah gadis yang kini sibuk mengaduk gelas di depannya. Ia yakin kepalanya memang sakit luar biasa sekarang, tapi ia ragu matanya mungkin juga ikut terkena imbasnya.
Belum sempat Alec mengeluarkan suara untuk bicara, Raine sudah memutar tubuhnya dengan nampan berisi secangkir minuman berbau aneh. Gadis itu bahkan meletakannya tak jauh dengan sarapan Alec pagi ini, Soto Lamongan yang kuahnya agak kental.
Raine mengambil duduk yang paling jauh darinya, kemudian kembali bicara, "Tadi Nate datang dan minta aku sampaikan sesuatu buat kamu."
"Apa?"
Raine menunduk, mungkin menyadari raut wajah Alec yang masih tidak bersahabat sejak tadi, "We got German."
"He did?" Tanya Alec tak percaya.
Pria itu bahkan nyaris menumpahkan suapan pertama di tangannya sendiri dengan mulut terbuka lebar. Ia juga hampir membuat seluruh makanan di atas meja terhempas karena ketukan sebelah tangannya yang mengepal.
Raine mengangguk ragu, "Kenapa?"
"Mereka janji kasih perusahaan Duncan proyek senilai tiga juta dollar," balas Alec bersemangat, "Tiga juta dollar. Imagine it! Dengan begitu, nama Duncan akan kembali dikenal sebagai perusahaan properti dan kontraktor yang profesional."
Alec melahap satu sendok penuh dengan mata yang bersinar. Tentu saja ia senang. Ia sendiri tak menyangka perusahaan dari Jerman itu masih punya kepercayaan padanya dengan memberikan sebuah mega proyek yang ada di Bekasi dan Singapura. Secara cuma-cuma.
"Selamat kalau begitu, Lec," ucap Raine tersenyum pada Alec yang tengah sibuk melahap sarapannya.
Alec mengangguk samar, walaupun lebih mirip seperti getaran kecil, "Berkat kamu juga."
"You struggled much, Lec. Aku tahu itu."
Alec mendongakkan kepalanya sedikit untuk menatap Raine yang duduk berjauhan dengannya. Ia tahu gadis itu masih berusaha menjaga jarak darinya seolah ia lah pria yang punya kode beracun dan wajib untuk dihindari. Kalau bisa, sejauh mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...