37

7.1K 514 14
                                    

"Kamu abis nonton drama, ya?"

Raine menatap kosong ke arah layar monitor menyala di depannya. Jiwa dan raganya seperti sudah tidak mau saling berkompromi lagi sejak pagi tadi. Tubuhnya memang di sini, diam dan lelah. Sedangkan jiwanya kadang pergi, untuk merajuk, mungkin.

Sepanjang pagi ini, Raine menjadi lebih hening daripada batu. Tak bicara ataupun bergerak banyak. Kedua matanya juga masih sembab dan jadi bengkak karena semalam membiarkan air matanya terus mengucur hingga ia lelah sendiri, lalu tertidur. Dengan Alec di sampingnya.

Tak cukup dengan menangis dalam diam selama semalaman, paginya, air mata yang sudah dibendungnya mati-matian kembali pecah. Bagaimana tidak? Pria itu sudah pergi ketika ia bangun, dan tak meninggalkan pesan apapun, seperti hari sebelumnya.

Ia hampir mengira bahwa kedatangan pria itu semalam hanyalah mimpi belaka. Tapi kemudian matanya menangkap lipatan seprai kusut dan selimut tersibak di balik punggungnya. Menandakan bahwa pria itu semalam memang tidur di sampingnya. Dan semuanya jelas bukan mimpi.

Gaby menyenggol bahu Raine agak keras hingga membuat gadis itu mengerjap cepat, "Re?"

Raine mengangguk lemah. Merangkap dua pertanyaan yang punya jawaban sama. I-ya.

"Udahlah, Re. Kayak gitu aja baper nya sampai sekarang," Tukas Gaby mengibas-ngibaskan tangannya di udara, "Tapi, sejak kapan kamu suka drama Korea? Kalau Western, aku tahu."

Raine tidak menjawab, bibirnya bahkan terkatup rapat-rapat, enggan untuk bicara. Tersenyum saja sudah susah sekali. Apalagi untuk basa-basi mengenai drama apa yang disukai dan tidak disukainya. Hidupnya bahkan sudah cocok untuk dijadikan drama hiburan yang menyedihkan yang akan ditontonnya berulang-ulang.

Gaby kembali mengguncangkan bahu Raine perlahan untuk membuat gadis itu sadar, "Re? Kamu nggak papa?"

Raine mengangguk lagi. Kali ini lebih lemah dari sebelumnya.

"Okay? Re, lihat worksheet kamu. Kamu daritadi cuma ngetik huruf acak," Dengus Gaby mengacungkan telapak tangannya pada layar monitor di depan wajah Raine, "swieopqbgdu, bahkan nemuin satu kata dengan huruf sebanyak itu agak susah juga."

Suara Gaby yang agak cempreng itu seperti teredam oleh suara serak dari bayangan pria di otaknya sendiri. Pria yang semalam menolak perasannya bahkan sebelum ia mengungkapkannya. Pria yang membuatnya berpikir bahwa dia aman dan merasa bahaya dalam satu waktu.

Pria yang mematahkan hatinya dengan cara yang amat sangat menyakitkan. Perlahan dan begitu membuatnya tersiksa hingga rasanya lebih baik lompat ke jurang untuk mati.

"Pak Alec mungkin bakal mikir kalau ini sejenis sandi." Komentar Gaby masih membicarakan tentang worksheetnya yang kacau balau.

Pak Alec. Entah mengapa hanya frasa itu yang tersangkut di telinganya dari sekian banyak frasa yang Gaby kumandangkan di sampingnya sedari tadi. Ia tak masalah dengan Gaby, ia bahkan tak terlalu menyadari keberadaan Gaby sejak pertama kali gadis itu berdiri di balik punggungnya.

"Re, kita itu udah sahabatan sejak Facebook Kay namanya KanyaCantiqzBeudh, jadi aku tahu banget kalau kamu lagi dalam keadaan enggak-enggak-papa." Tebak Gaby. Dan tebakannya tidak meleset.

Raine hanya menghela napas pelan kemudian menggeleng lemah, "I'm totally okay."

"Jangan bohong, Re. Kamu sendiri tahu kamu nggak bisa bohong." Sahut Gaby cepat seraya mendudukan diri di kursi tempat Fara biasanya berada.

Raine menarik napas dalam, dan ia dapat merasakan jantungnya kesusahan dalam memompa oksigen, "Aku belum bisa jelasin semuanya sekarang, Gabe."

"Just get away from my pretty chair," sergah Fara dengan nada suara terburu-buru.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang