07

7.2K 537 1
                                    

Alec menunjuk segelas air yang ada di atas nampan. Ia memang merasa haus bahkan sebelum ia dan Raine mulai berdebat pertama kali beberapa jam lalu.

Raine menyodorkan gelas itu padanya, dan memutar tubuhnya untuk melangkah pergi. Tanpa mengatakan sepatah katapun. Gadis itu mungkin sedang dalam keadaan sangat-luar-biasa-marah dan kupatahkan-lehermu-jika-menyentuhku. Dan entah mengapa, Alec justru dapat mengartikan hal tersebut sebagai hiburan.

Tetapi, baru saja kaki Raine hendak melangkah ke arah pintu keluar, Alec tak sengaja melepaskan gelas di tangannya. Hingga jatuh dan membasahi paha, selimut, juga bantal yang ada di sampingnya.

Raine terbelalak dan buru-buru mengambil gelas yang kini berada di permukaan kasur Alec yang basah. Gadis itu juga mengambil beberapa lembar tisu untuk menyerap sisa air yang masih menggenang di seprai ranjang merah Alec.

Setelah membereskan sisa air tadi, Raine kembali duduk di sisi ranjang yang agak jauh dari tempat Alec berada. Gadis itu meraih piring yang ada di atas nampan, masih menghindari tatapan Alec yang lurus ke arahnya.

"Jangan protes," tegas Raine mengambil suapan pertama dengan sendok yang sudah dingin.

Gadis itu kemudian menyodorkan satu sendok penuh dengan makanan ke depan bibir Alec yang masih terkatup rapat. Jujur, ia merasa aneh ketika melihat suapan itu berasal dari tangan Raine.

Raine mendecak, "Buka mulut kamu, Lec."

Alec akhirnya menurut, dan membuka mulutnya untuk mempersilahkan sesuap makanan itu masuk ke mulutnya. Ia mungkin sedang kehilangan akal sehatnya sekarang, juga gengsinya pada gadis ini.

Alec dapat melihat perubahan wajah Raine ketika ia menerima suapan keduanya. Gadis itu hampir tersenyum. Atau itu hanya perasaannya saja ketika menyadari kedua ujung bibir gadis itu berkedut. Gadis itu bahkan mengendurkan kerutan di dahinya.

"Siapa yang masak?" Tanya Alec datar setelah menelan suapan ke sekiannya.

Raine hampir tersenyum ketika menjawab, "Yang penting kamu makan."

Alec tak bisa membohongi otaknya ketika saraf di lidahnya mengirim sinyal bahwa rasa masakan Raine benar-benar nikmat, dan pas. Semua komposisinya sesuai, dan nyaris tidak ada yang melebihi takaran membuatnya cukup penasaran sejak kapan Raine pintar memasak.

"Besok nggak usah masak lagi." Ujar Alec lebih terdengar seperti kecaman.

Raine kembali memperdalam kerutan di dahinya seraya menyuapkan makanannya ke dalam mulut Alec, "Kenapa? Aku tetap akan masak. Kamu nggak bisa melarang aku."

"Nggak. Aku bayar mereka buat kerja bukan tidur-tiduran." Balas Alec setelah menelan makanan di mulutnya.

Raine terus saja menyuapkan makanan di atas piring yang dibawanya, hingga bersih tak bersisa. Alec sendiri juga tak menyadarinya hingga gadis itu berhenti menyodorkan sesuatu di depan mulutnya dan terdiam. Ia jadi merasa kurang dan menginginkan lebih.

Tapi untuk pertama kalinya, mereka makan malam bersama. Dengan Raine yang sibuk menyuapkan makanan ke dalam mulut Alec. Dan Alec yang lebih tampak seperti bocah balita daripada pemilik sebuah perusahaan.

"Oh iya, Lec, mulai besok minggu, aku akan kerja part-time di Starbucks sebelah kampus." Terang Raine membereskan sisa piring dan gelas, kemudian meletakkannya di atas nampan.

Alec hanya terdiam. Raut wajahnya tak bisa dikatakan sebagai tanda persetujuan ataupun penolakan. Tapi yang jelas, lebih banyak ke sisi penolakannya dibanding persetujuan.

Raine berdiri dari duduknya, "Aku nggak minta persetujuan kamu. Tapi kamu sebagai suami aku perlu tahu."

"Apa maumu, Re?"

Raine mengangkat sebelah alisnya bingung, "Mau aku? Aku cuma mau kerja. Dan, yeah, aku suka meracik kopi. Aku kira pekerjaan itu akan sesuai."

"Katakan apa mau kamu dan kamu nggak perlu kerja." Ujar Alec dengan aksen yang agak diseret.

Raine melipat kedua tangannya kesal, "Kamu nggak bisa ngatur hidup ak--"

"Aku bisa. Aku bisa ngatur hidup kamu." Tegas Alec kini memberi Raine tatapan mengancam, "Kamu mau tas LV? Gucci?"

"..."

Alec menolehkan kepalanya, "Walaupun Duncan sedang merosot, tapi aku tetap mampu beliin semua kebutuhan materi glamour kamu."

"Lec, aku cuma mau kerja, dan please, aku nggak nuntut apapun dari kamu." Tandas Raine.

Raine kemudian berdiri dan melangkah ke arah pintu keluar dengan nampan berisi piring juga gelas kosong. Hatinya cukup senang karena makanan yang dimasaknya tadi habis tak bersisa, dan makhluk di atas ranjang itu sudah kian membaik.

"Terima kasih, Re,"

Kedua mata Raine langsung membulat sempurna ketika telinganya menangkap gumaman serak pria itu. Tidak, Alec tak pernah sekalipun mengucapkan kata dari negeri antah berantah itu. Terutama pada dirinya.

Raine memutar kepalanya sedikit, "Lec, aku udah bilang itu tadi."

"Tapi aku belum." Balasnya membenarkan posisi duduknya.

Raine ingin sekali tersenyum. Entah mengapa, rasanya ia senang mendengar pria itu mengucapkannya secara langsung. Tadinya, ia hampir berpikir bongkahan es dengan sikap memerintah itu tak akan pernah mengatakannya hingga mereka bercerai nanti.

Raine menahan senyumnya, "Sama-sama. Istirahat Lec,"

Setelahnya, Raine langsung melangkahkan kakinya pergi, tidak ingin mendengar atau melihat reaksi pria itu. Ia sudah merasa cukup dengan ucapan Alec tadi.

***

Alec merasa sudah lama sekali matanya terpejam, tapi waktu justru kian melambat. Jam dinding di atas televisinya juga masih menunjukkan pukul satu dini hari yang artinya baru setengah jam gadis itu pergi dari kamarnya. Tapi entah mengapa, pikirannya tak bisa tenang.

Alec punya firasat kuat bahwa gadis cengeng itu belum tidur. Bayangannya bahkan belum melewati lorong di depan kamarnya. Ia juga tak mendengar derap kaki atau apapun yang menjadi tanda bahwa gadis itu berjalan ke kamarnya yang berada di ujung lorong.

Ia jadi takut setelah ini gadis itu tak akan kembali lagi untuk merajuk padanya karena ia sudah mengucapkan terima kasih. Ia menyesal tidak menahan gadis itu di kamarnya sampai pagi, sehingga ia tak perlu repot-repot memikirkan gadis itu hingga sulit tidur.

Ia ingin beranjak dari ranjangnya dan memastikan gadis itu sudah tidur, tapi untuk bergerak saja betisnya sudah terasa ngilu. Apalagi untuk berjalan ke seluruh rumahnya.

Alec kemudian berusaha mengusir gadis itu dari pikirannya. Ia tak bisa terus-terusan merasa paranoid hingga pagi. Ia butuh tidur, dan kakinya harus sembuh supaya ia dapat menemani Veronica pergi ke acara pernikahan temannya besok siang.

Ia juga tak bisa memikirkan Raine. Ralat, tak boleh.

Beberapa detik setelahnya, Alec mendengar derap langkah pelan menaiki tangga yang tak jauh dari pintu kamarnya. Ia buru-buru merapatkan selimutnya dan mencari posisi seolah ia sudah lama terlelap.

Ia merasa lega, gadis itu akan kembali untuk merajuk padanya.

"Alec, kamu nggak papa?"

A/N

Hai, selamat datang kembali hehe, terimakasih sekali buat tementemen yang udah vote, that means so much to me(':

Bagi yang barusan dateng, hai selamat membaca yah! Jangan lupa vote dan komen hehehe

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang