35

7K 466 0
                                    

"Re, kamu dipindahin ke kubikel itu,"

Raine menjulurkan lehernya tinggi-tinggi untuk melihat kubikel barunya yang terjejal di tengah-tengah teman sekampusnya. Ia senang, dan sedih dalam satu waktu. Hatinya bimbang menekuni satu pertanyaan yang berkelebat di dalam pikirannya.

Alec masih menghindar?

Kemudian setelah pertanyaan itu, muncul pertanyaan lain yang menikam hatinya lebih dalam,

Jadi gini, rasanya dihindari?

Di awal pernikahan mereka, Raine memang selalu menghindari pria itu sampai jengah sendiri. Hingga akhirnya di peralihan minggu kedua menuju ketiga, ia berhenti menghindar dan berusaha menempatkan diri sebaik-baiknya agar pria itu tidak terus-terusan memanggilnya.

Dan kini, lebih tepatnya hari ini, ia sama sekali belum bertemu dengan Alec. Sejak kejadian semalam di rumah Martha, Alec tak bicara, sama sekali padanya. Atau pada siapapun di rumah. Bahkan kamarnya pun sudah ditinggalkan dengan rapi ketika ia melintas pukul lima untuk lari pagi.

Sialnya, Ika--pelayan rumah tangga mereka yang masih belia, tidak tahu Alec pergi kemana. Ketika ditanya, Ika hanya menyebutkan bahwa Alec menenteng sebuah koper hitam berukuran sedang yang mungkin berisi pakaian. Langkahnya bahkan tergesa-gesa seolah ia sudah hampir terlambat untuk rapat.

"Nate, maksudku Pak Nathan, bentar." Cegah Raine dengan tangan terantuk di udara.

Pria itu kembali memutar tubuhnya, "Kenapa?"

Raine bergidik tidak nyaman ketika mendengar kemiripan aksen bicara pria itu dengan Alec. Agak diseret, sehingga terkesan tidak bertele-tele dan lugas langsung ke poin nya. Gaya bicara Nate biasanya tak begini, mungkin karena mood nya juga sedang tidak bagus sejak pagi.

"Alec kemana? Alec pindah, ya, ke rumah V? Atau Alec pindah apartemen, ya?" Raine menjejalkan semua pertanyaan itu dengan suara agak pelan.

Nate yang sedari tadi cemberut, kini tersenyum, "Bu Bos khawatir, ya?"

"Ya jelas!" Sahutnya hampir memekik, "E-enggak. Maksudku, ya jelas enggak! Aku cuma penasaran aja, tumben dia nggak manggil aku ke ruangannya."

Nate berhasil mengeluarkan tawanya setelah sekian lama bersembunyi di balik topeng kesedihannya, "Oh, Si Bos ke Singapura, buat meeting sama perusahaan kontraktor di sana."

"Oh gitu, dia naik pesawat paling pagi?" Tanya Raine membuat nadanya agar terdengar bosan dan tidak tertarik.

Nate terdiam sebentar, "Enggak, tuh. Dia baru mau berangkat abis makan siang."

"Hah?!" Raine gelagapan. Tak peduli lagi pada gengsinya yang sudah turun dari langit hingga ke bawah tanah.

"Bercanda, Bu Bos."

Raine memelototkan matanya galak ke arah Nate yang mulai beringsut mundur seraya terkikik geli. Ia berani bertaruh hanya dirinya yang bisa berlaku begini pada Nate di seantero kantor. Ralat, ia dan Alec. Lagi-lagi nama pria itu terasa ganjil.

"Raine Theoran!" Gertak seseorang dengan suara agak sumbang di balik tubuhnya.

Raine memutar tubuhnya cepat dengan telapak tangan terangkat sebatas alis, memberi hormat formal saking terkejutnya. Seorang pria dengan kemeja agak kumal yang mungkin umurnya sudah puluhan tahun, berdiri menghadapnya dengan mata memincing.

Pria itu maju selangkah, "Raine, saya beritahukan dengan berat hati bahwa ini sama sekali bukan angkatan perang,"

Raine menurunkan tangannya dengan kikuk diikuti gelak tawa dari seluruh teman-temannya. Beberapa bahkan rela meninggalkan layar komputer mereka hanya untuk memperhatikan apa kejadian lain yang akan menimpa gadis malang seperti Raine.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang