Raine menatap takjub pada pantulan tubuhnya sendiri di cermin tinggi kamarnya. Entahlah, ia tak bermaksud memuji diri sendiri, namun gaun hitam selutut ini membuatnya jadi tampak anggun. Ditambah polesan make up yang terkesan glamour membuatnya semakin terlihat menarik.
Ia memutar tubuhnya sekali, untuk melihat apakah pantatnya terlihat terlalu menonjol atau tidak. Tapi justru bukan pantatnya yang kini menjadi masalah, melainkan resleting gaunnya yang belum tertutup.
Tangannya berusaha menggapai-gapai punggungnya dengan susah payah. Tapi tetap saja, masih kurang panjang. Dan ia tak bisa pergi keluar dengan resleting belakang terbuka seperti ini.
Sedetik kemudian, Raine langsung terkesiap merasakan telapak tangan hangat agak besar bergerak menyusuri punggungnya yang masih terbuka. Lalu ia dapat merasakan resleting belakang gaunnya ditarik ke atas, membuat bagian dadanya sedikit lebih membusung ke depan.
Raine meneguk salivanya mentah-mentah ketika akhirnya dapat melihat dengan jelas rupa makhluk aneh yang menjelma menjadi seseorang yang luar biasa tampan malam ini. Hati bahkan otaknya juga setuju pada opini sembarangannya tersebut.
Pria itu menyeringai dari atas bahunya dengan mata yang menatap lekat-lekat ke arah pantulan wajahnya. Ia ingin tersenyum ketika menyadari pakaian mereka berpadu terlalu sempurna saat mereka berdua berada sedekat ini. Hitam mengkilap.
"A-aku nggak bisa pergi kayak gini, Lec." Ungkap Raine agak terbata melihat Alec terus saja menatapnya.
Alec menautkan alisnya bingung, "Kenapa?"
Raine menunjuk ragu pada bercak kemerahan yang masih menghiasi dada dan lehernya yang agak terbuka. Pipinya langsung memanas ketika Alec tidak memperhatikan gerakan tangannya dan justru menatap lembut ke arah wajahnya.
"Lec," panggil Raine berusaha menarik perhatian Alec.
Alec menajamkan pandangannya pada bagian yang Raine tunjuk dengan jemari bergetar. Ia kembali menyeringai, "Biarin aja."
"Biarin? Lec, bayangin apa yang bakal mereka pikirin tentang kita kalau sampai tahu ini apa." Balas Raine dengan wajah khawatir.
Alec tersenyum miring, "Re, kita udah menikah."
Raine yang tadinya sudah membuka mulutnya untuk membantah, langsung mengatupkannya lagi. Alec benar. Mereka sudah menikah. Dan itulah tujuan mereka menikah untuk Alec, diakui sebagai pria dewasa yang siap menanggung beban proyek besar.
"Ayo," ajak Alec seraya memutar tubuhnya dan mengambil langkah pendek-pendek agar Raine dapat menyamakannya.
Raine mendesah pelan, kemudian mengambil langkah cepat untuk mendahului Alec. Ia mengambil sepasang sepatu hitam bertumit tinggi di lemari sepatunya.
Raine mendudukan tubuhnya di tepi ranjang seraya berusaha memasukkan kakinya ke dalam sepatu hitam yang akan pas dengan gaunnya, mungkin. Ia berusaha tetap menyibukkan diri ketika menyadari Alec sudah menatapnya dari tempat pria itu berdiri.
Alec menghela napas pelan kemudian mengambil langkah cepat ke arah Raine. Ia berlutut di depan kaki Raine yang mendadak diam karena terkejut. Tangannya dengan telaten memasukkan satu persatu kaki Raine yang sangat kaku ke dalam sepatunya kemudian mengaitkan pengait di pangkal betis mungil gadis itu.
"Thanks," ucap Raine dengan suara yang amat sangat pelan, berharap Alec tak mendengarnya.
Alec hanya menatapnya sekilas kemudian pergi, menghilang di lorong yang masih terang berderang di balik pintunya. Ia mendesah lelah. Pria itu tetap saja aneh dan punya jalan pikiran yang sulit sekali ditebak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...