"Kamu di sini ternyata, aku cari kamu kemana-mana."
Sepasang mata keabuan itu berkilat di bawah pendaran sorot lampu meja yang memantul lewat ulir tembaga yang merengkuh setiap sudut meja kayu jati setinggi perut manusia dewasa. Napasnya tersengal-sengal dan ujung rambutnya dihinggapi butiran salju yang sedikit banyak sudah mencair.
Perempuan dengan gaun tidur satin potongan pendek berwarna putih itu memutar tubuhnya perlahan. Membuat setengah bagian punggungnya yang telanjang menghadap ke arah jajaran rak buku yang menjulang tinggi di sampingnya.
Senyum terpancar dari bibir mungil perempuan itu, "Karena aku emang enggak dimana-mana, aku di sini."
Sorot mata keabuan yang sedari tadi menghujani tatapan posesif pada si perempuan yang bersimpuh di lantai kayu beralaskan selimut ungu pastel dan secangkir kopi dengan uap yang masih mengepul itu, kini beralih pada jajaran rak buku raksasa yang menjulang hingga bayangannya hampir menelan perempuan itu hidup-hidup. Seluruh lampu ruangan yang baru diganti kini dipadamkan, atau memang rusak lagi.
Namun ia langsung lega ketika melihat perapian dengan api yang menari-nari di dalam tungku pembakaran yang seperti baru saja dibersihkan. Tandanya, perempuan dengan rambut cokelat tua yang dicepol di atas leher itu tidak kedinginan di dalam sini. Perempuan itu aman.
"Kenapa kamu pulang?" Tanya perempuan itu kini menutup buku bersampul merah marun di atas pangkuannya dan berdiri dengan susah payah.
Perempuan itu meletakkan buku yang sedang dibacanya di atas nakas dan berjalan ke arah pria dengan rambut basah yang masih berdiri tegap di ambang pintu. Jemarinya yang lentik meraih jaket tebal basah yang sudah digantungkan di bahu kokoh si pria sembari mengecup lembut pipinya yang sedingin es.
Si pria terkekeh, "Kamu kayak hampir nangis waktu aku bilang nggak bisa pulang malam ini."
Tangan pria itu meraih pinggul ramping istrinya mendekat, tapi tidak sampai menempel karena takut gaun tidur gadis itu basah kuyup. Gadis itu sama sekali tidak mengelak dan justru mendekatkan diri lebih rapat lagi. Tidak peduli pada gaun tidurnya yang tipis. Toh, itu hanya suaminya. Apapun yang bisa dilihat saat ini memang milik suaminya.
"Aku khawatir, Lec. Hujan salju masih belum berhenti juga." Rengek Raine kini sudah menempelkan kepalanya di bawah dagu Alec yang bergetar kedinginan.
Alec mencium puncak kepala istrinya dengan sangat lembut. Rasanya perjuangannya kemari dari Washington DC dengan drama hampir terjebak salju sangat sepadan dengan ini semua. Yang ada di pikirannya hanyalah kembali ke rumah dan melihat istrinya baik-baik saja secara langsung.
Badai salju sedang senang sekali mampir belakangan ini di Amerika. Beberapa negara bagian bahkan mengeluh tahun ini adalah musim dingin paling ekstrem yang pernah terjadi di Amerika. Tak terkecuali di hunian milik Duncan yang terletak tak jauh dari kota New York, yang dikabarkan saljunya sudah setebal 1 meter di jalanan lengang.
Nate mungkin kewalahan mencarikan mobil pembersih salju di cuaca begini. Apalagi secara mendadak karena jadwal Alec pulang memang seharusnya bukan malam ini. Bukan ketika hujan salju masih deras-derasnya. Bukan juga ketika seharusnya tidak boleh ada penerbangan kemanapun hingga besok pagi atau setidaknya sampai cuaca membaik.
Tapi Alexander Raul Duncan sudah di sini. Di rumahnya. Memeluk istrinya seolah kejadian marah-marah di bandara karena ijin terbang pesawatnya tidak dikabulkan tadi bukanlah hal yang besar. Padahal keributan yang ia timbulkan bukanlah keributan sepele seperti masalah bola basket yang jatuh di halaman tetangganya. Atau bukan juga perdebatan dengan Jacob tentang masakan mana yang enak untuk acara kencannya dengan Raine.
Selama hampir tiga tahun mereka menikah (secara resmi dan terang-terangan), Alec sudah belajar banyak hal. Ia belajar bagaimana cara memasak makanan yang setidaknya bisa ditelan, belajar membersihkan rumah. Walaupun pertama kali ia mengepel lantai seisi rumah jadi basah dan laptop Raine jadi rusak, kemudian Raine merajuk seharian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...