"Aku nggak papa, kok."
Raine memutar kursinya kembali menghadap ke komputer menyala di meja miliknya. Begitu pula teman-teman kampusnya, juga para karyawan yang sengaja menunggu di sekitar jajaran mesin fotocopy di depan kubikel Raine yang memprihatinkan.
Mereka semua merasa penasaran, bagaimana nasib perempuan malang yang di hari pertamanya sudah dipanggil langsung ke ruangan pimpinan perusahaan di tempat mereka bekerja itu. Biasanya pasti berakhir buruk.
Tetapi melihat Raine melangkah keluar dari pintu lift terbuka dengan senyum lebar, membuat mereka hampir mati penasaran karenanya. Tak ada yang bisa selamat dari manusia kejam seperti Alec. Bahkan seorang karyawan tanpa nama dipecat karena memaki Alec yang berhenti di tengah jalan dengan istrinya, membuat jalanan saat itu macet parah.
Seorang pria yang mungkin pertengahan dua puluh mendatangi meja Raine dengan kumpulan kertas yang masih hangat karena baru saja keluar dari mesin fotocopy. Matanya sedikit jelalatan seperti maling ketika tubuhnya hanya berjarak satu senti dengan ujung meja Raine.
"Kamu nggak papa, 'kan?" Tanya pria itu masih menoleh ke kanan dan ke kiri, was-was tetapi masih sempat menyodorkan tangannya, "Kenalin, Toni."
Raine menjabat tangan pria itu dengan santai, "Raine. Aku nggak papa, kok, Pak."
"Aduh, jangan Pak, dong. Toni aja," ralat pria bernama Toni itu kini menatap lembut ke arah Raine yang masih belum melunturkan senyumnya.
Toni balas tersenyum pada gadis yang sedang sibuk tersenyum pada dirinya sendiri sejak tadi itu. Tapi ia tak tahu. Dan Raine tak ingin repot-repot memberi tahu ataupun mengoreksi apa yang orang itu lakukan. Meski tampak agak bodoh.
"Oh, iya, Raine, kamu mungkin ada kesulitan apa? Biar aku bantu," tawar pria itu kini membuat senyum Raine berubah menjadi kikuk.
Melihat itu, Toni kembali menambahkan, "Aku dari IT, kok. Aku bahkan bisa buat program untuk membantu perusahaan ini. Memang belum dirilis, tapi Pak Alec akan mempertimbangkannya."
Raine hanya menampilkan deretan giginya yang rapi dengan canggung. Ia merasa agak risih dengan pria yang se-agresif ini untuk menarik perhatiannya. Itu menurutnya yang sedari tadi sudah melihat jelas, pria bernama Toni itu selalu berdiri di samping mesin fotocopy yang tak jauh dari tempatnya duduk, untuk memperbanyak lembaran mirip nota pembelian. Entah apa gunanya untuk karyawan IT.
Raine kembali melirik pada kertas hangat yang kini ada di atas mejanya, kemudian tersenyum penuh kemenangan. Rupanya benar, pria itu memang memperbanyak lembaran tak berguna yang berupa nota pembelian sebotol teh hijau dan sebuah roti isi tuna.
"Um, thanks, tapi aku sedang nggak butuh apapun sekarang." Balas Raine berusaha menolak dengan sopan.
Pria itu kemudian melipat ujung bibirnya ke dalam sebagai tanda keadaan mulai canggung, untuknya, "Nanti malem kamu sibuk, nggak?"
Belum sempat bibirnya terbuka untuk menjawab, seseorang tiba-tiba menggantungkan lengannya pada bahu Raine. Ia berjingat kaget, dan jantungnya hampir lepas ketika menyadari fantasinya tentang pria egois di lantai sebelas tadi mungkin sudah kelewatan.
"Sayang, nanti malem jadi, 'kan? Di restoran yang biasa."
Seorang pria mendekatkan pipinya pada wajah Raine dengan gerakan cepat. Menutup penglihatan dari pria bernama Toni yang kini hanya bisa pura-pura sibuk dengan kertas yang dibawanya.
Raine dapat merasakan genggaman tangan pria penyelamatnya itu. Dan hatinya merasa agak berat ketika menyadari bahwa itu bukan tangan milik seseorang yang mungkin diharapkannya akan datang. Tangan milik orang ini agak dingin, dan mungkin ukurannya lebih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...