26

7.2K 519 6
                                    

Alec membongkar setiap laci yang ada di kamar Raine dengan tidak sabar. Mencari sesuatu yang berhiaskan berlian yang tak pernah ada di jari manis Raine kecuali di hari mereka menikah waktu itu. Ya, cincin pernikahan mereka.

Mata berlian cincin yang melingkar di jari manisnya berkilat ketika tak sengaja terkena pendaran lampu belajar gadis itu. Ia jadi teringat pada pemilik pasangan cincinnya. Gadis itu belum juga kembali ke rumah. Kubikelnya di kantor juga masih kosong dan hanya menyisakan selembar kertas coretan abstrak dengan tinta pulpen.

Ada perasaan tidak enak di dalam hatinya ketika ia kembali membuka setiap laci di kamar Raine yang masih bersih sejak lusa. Ia memang berencana untuk mengajak Veronica yang akan berpura-pura menjadi istrinya, pergi ke acara makan malam yang digelar oleh William Attridge, rekan kerjanya dari Jerman malam ini.

Ia sebenarnya ingin mengenalkan Raine sebagai istrinya pada Will malam ini. Tapi gadis itu justru menghilang dan tak kunjung kembali. Ia tidak ingin bilang pada dunia bahwa ia khawatir, atau lebih tepatnya, sangat khawatir.

Ia bahkan masih tak bisa tidur sejak kemarin malam hanya karena bayangan gadis itu tak pernah berhenti singgah di kepalanya. Alec jadi harus minum obat sakit kepala keesokan paginya, seperti yang ia lakukan sebelum kemari.

Alec mendengus kasar kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang di balik punggungnya. Ia memejamkan matanya seraya menghirup dalam-dalam aroma yang sudah sangat familiar di hidungnya itu akhir-akhir ini. Aroma gadis itu. Entah parfum apa yang dipakainya, tapi baunya selalu seperti mawar dan vanilla.

"Gue tahu Raine dimana!"

Alec langsung bangkit dari posisi tidurnya dalam waktu kurang dari satu detik. Ia berusaha memasang wajah sedatar mungkin untuk menyembunyikan auranya yang mendadak menjadi seterang matahari.

Jacob menatapnya seraya mengangkat sebelah alisnya bingung, "Lo ngapain di sini?"

Sedetik kemudian, pria yang tiga tahun lebih muda darinya itu tertawa dengan nada mengejek. Tangannya juga berpegangan pada kusen pintu seolah tidak kuasa menahan beban tubuhnya sendiri karena menemukan kakaknya di kamar Raine adalah sebuah lelucon paling aneh sejagad.

Ia memutar bola matanya malas ketika Jacob justru sibuk tertawa di ambang pintu tanpa memberikan informasi yang sebenarnya sangat ingin didengarnya.

"Gue nyariin cincin Raine buat Veronica entar malem." Balas Alec seraya bergeser ke ujung ranjang.

Jacob berusaha berhenti tertawa, "Okay, nice try."

"Kalau lo cuma mau ketawa, mending lo pergi dari sini." Usir Alec memijit pelipisnya yang kembali berdenyut.

Jacob menghentikkan tawanya, "Sean baru aja kasih tahu gue dia bisa lacak nomor Raine,"

Alec hanya menggumam pendek seolah mengiyakan pernyataan Jacob barusan, sekaligus memancing kalimat selanjutnya keluar dari bibir Jacob yang agak terbuka itu.

"Dan, dia," Jacob melirik sebentar ke arah Alec yang menutupi wajahnya dengan telapak tangan, "Lo mau tahu dia dimana nggak, sih?"

Alec menghela napas berat, "Gue cuma butuh cincinnya."

"Gini aja, gue bakal tulisin alamatnya di ruang kerja lo. Dan kalau emang lo butuh buat ketemu sama dia, bukan cincinnya, lo bisa langsung cek ke sana." Ujar Jacob akhirnya sebelum memutar tubuhnya untuk pergi.

Alec berpikir sebentar. Ia butuh cincin itu. Tapi ia juga tak bisa selamanya begadang dan tak tidur hanya karena kewalahan memikirkan gadis itu di setiap kedipan matanya. Ia bimbang. Ia tak seharusnya memikirkan gadis itu, tapi ia tak bisa.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang