Dengan statusnya sebagai istri dari Alec Duncan, Raine merasa tak ada yang berubah sama sekali di hidupnya. Kecuali usahanya yang lebih keras untuk menghindari kontak dengan Alec di pagi hari.
Ia tak bisa setiap hari berangkat pukul enam pagi dan beralasan bahwa jadwal kuliahnya dimajukan selama satu semester terakhirnya. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah ia duduk di warung bubur ayam Mang Ujang yang berada di dekat area perkantoran hingga sekitar pukul setengah delapan.
Sampai-sampai banyak karyawan yang rela terlambat dan gajinya dipotong hanya untuk memperhatikan Raine hingga gadis itu pergi. Beberapa dari mereka bahkan menuliskan nomor telfon mereka di atas meja tempat Raine biasa duduk untuk menyantap bubur setengah porsi.
"Kayak biasa, Neng?" Tanya Mang Ujang seraya membersihkan bekas tinta pulpen di atas mejanya.
Raine hanya mengangguk mengiyakan kemudian kembali mengerjakan tugas kuliahnya yang semalam sempat ia tunda karena harus mendengarkan suaminya marah-marah. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa suaminya itu masih sempat menjadikannya pelampiasan atas kekasihnya, Veronica, sedang ia bahkan tak melakukan apapun.
Semalam, Alec baru pulang pukul sebelas dan langsung menyemburkan kemarahannya karena hal sepele pada Raine. Dan benar saja, setelah pintu kamar Alec tertutup rapat, Raine dapat mendengar suaminya itu bicara lewat telfon dengan Veronica. Suaminya itu terdengar begitu lembut ketika mengungkapkan kata maaf yang bertele-tele.
Mereka sedang bertengkar, dan Raine yang menjadi korban.
"Neng, kenapa atuh sedih? Diputusin pacarnya?" Tanya Mang Ujang meletakkan mangkuk bubur itu di depannya.
Pertanyaan Mang Ujang tadi sukses membuat puluhan karyawan di sini menoleh antusias. Mereka sudah menunggu ini sejak pertama kali Raine tiba dan duduk berjam-jam di sini.
Raine hanya menghembuskan nafas berat, "Saya malah pingin cepet putus Mang sama dia. Galak banget. Telinga saya sampai panas dengerin dia marah mulu."
"Sama abang aja atuh, Neng. Abang nggak bakal marah deh kalau sama Eneng," balas seorang karyawan yang duduk tak jauh darinya.
Raine kembali menambahkan, tanpa menghiraukan kalimat pria yang tak dikenalnya barusan, "Saking seringnya marah nih ya, Mang, sampe-sampe suaranya dia udah kayak alarm di hidup saya."
"Cowok kayak gitu mah nggak usah dipertahanin atuh Neng. Cari aja yang baru." Saran Mang Ujang sibuk menuangkan bubur ke dalam mangkuk, "Cewek kayak eneng ini mah pasti banyak diincer orang."
Raine menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. Kemudian kembali bicara dengan mulut penuh, "Galak gitu saya tetap butuh dia, Mang. Tanpa dia saya nggak bisa hidup."
"Eneng nggak bisa hidup tanpa dia?" Tanya Mang Ujang seraya menuang kuah bubur ke dalam mangkuk.
"Bukan Mang. Tanpa dia, saya nggak bisa hidup. Artinya beda Mang. Saya butuh dia supaya saya bisa tetap hidup. Tapi saya bisa hidup tanpa dia."
Mang Ujang mengangguk sembari terkekeh geli, "Namanya juga cinta, Neng. Tapi jangan terlalu dipaksain, Neng. Nggak baik juga buat hati Eneng yang masih muda."
"Coba deh Mamang jadi saya sehari aja. Pasti udah pingin bunuh diri denger dia marah-marah mulu," sahut Raine memutar bola matanya kesal, "suaranya jadi kayak nempel di telinga saya."
Raine mulai menirukan raut wajah Alec ketika memarahinya, diikuti tawa yang meledak dari seisi tenda tempat Mang Ujang berjualan bubur. Mereka semua tampaknya sangat terhibur dengan cerita dari Raine tentang suaminya.
"Gini nih, Mang," tukas Raine seraya mengernyitkan dahinya tak suka menirukan gaya Alec. Bibirnya menipis seolah marah,
"Raine,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Beautiful Scars
General Fiction"Lihat wajah ketakutan kamu, Raine. Aku pastikan akan melihat itu setiap hari." Raine Theoran terpaksa harus menikah dengan putra dari lintah darat bagi perusahaan ayahnya sendiri, Alexander Raul Duncan, demi menyelamatkan kehidupan keluarganya yan...