10

8.1K 517 7
                                    

"Pokoknya kita nggak akan pulang, sebelum kamu datang."

Raine mendesah lelah. Ia tak bisa pergi begitu saja sementara Alec masih dengan segala tabiatnya, berada di rumah. Selama seharian. Tidak banyak bicara.

Dan yang mengejutkan, pria itu meneguk habis jamu yang Raine buatkan. Padahal ia tahu, tak setetespun kopi yang ia buat untuk Alec di pagi hari yang menyentuh lidah pria itu. Ia beberapa kali mendapati cairan hitam pekat itu masih menggenang di permukaan wastafel.

Ia ingin sekali bergabung dengan beberapa teman kampusnya yang sedang berkumpul di kafe yang tak jauh dari gedung tempat ia berada sekarang. Tapi untuk membuka topik pada Alec saja ia tak mampu, apalagi meminta izin untuk pergi.

"Maaf banget, tapi aku lagi ada acara sama sepupu aku," ucap Raine setengah berbisik dengan mata yang menatap was-was ke arah pintu kamar Alec. Tempat pria itu tengah berada.

Terdengar dengusan kecil dari seberang telfon, "Come over in an hour, atau aku nggak akan kasih foto tugas pengamatan yang kemarin."

"Kamu nggak bisa mengancam aku, Gabe." Balas Raine berusaha untuk tidak panik.

Gadis di seberang telfon itu tertawa, "Surely, I can. Dengan kamu nggak dapat foto-foto itu, Bu Nata akan bilang sambil melotot, "Raine Theoran, kerjakan laporan itu sepuluh kali!" Dan kamu nggak bisa membantah."

"Just like Ansya."

Raine bergidik membayangkan gadis berambut pendek berlarian di lorong membawa setumpuk buku tebal berbentuk arsip di tangannya, mengejar seorang dosen paling aneh sejagad bernama Bu Nata, yang suka sekali jual mahal. Beliau tentu menolak mentah-mentah tumpukan laporan Ansya yang sudah dibuatnya semalam suntuk tidak tidur.

Sejak semester pertama, Raine sebisa mungkin menghindari kontak langsung dengan dosen itu. Dan ia tak mungkin merusak rantai yang selama ini dibuatnya sendiri.

"Okay, akan aku usahakan," hela Raine akhirnya.

Gaby tertawa lagi, "An hour."

Raine menutup sambungan telfon mereka dan berjalan mendekati pintu kamar Alec yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup kencang. Jujur, ia takut dan khawatir bukan persetujuan yang didapatnya, melainkan perdebatan panjang atau penolakan tersingkat di muka bumi. Ia jadi merasa seperti sedang meminta izin pada ayahnya.

Ia menutup kedua matanya rapat-rapat ketika kepalan tangannya bergerak untuk mengetuk pintu yang berada tepat di ujung hidungnya. Ia tak sanggup. Jantungnya bahkan berdentum keras seperti barisan marching band yang menggetarkan seluruh gelanggang olahraga.

"Ada apa?"

Sebuah suara serak dan dalam menyapa kepalan tangannya yang bahkan belum sempat menyentuh permukaan pintu itu. Aura intens mengintimidasi tubuhnya yang mendadak tak bisa digerakkan.

Ia membuka sebelah matanya perlahan, memastikan bahwa suara itu bukan berasal dari pria pemilik kamar di depannya. Atau iya. Ia sedang dirundung dilema yang luar biasa parah untuk meminta izin pada pria itu.

Tapi kedua matanya langsung terbuka lebar saat ia menangkap bahwa ada yang berbeda dari pria bertubuh tegap itu. Raut wajahnya berubah dari takut, menjadi bingung. Pria itu tak lagi memakai celana pendek dan kaus hitam polos yang mengekang otot-otot di tubuhnya.

Aroma maskulin khasnya juga sudah kembali.

"Mau kemana?" Kini Raine langsung bertanya dengan kerut dahi yang dalam.

Ia jadi melupakan maksud dirinya berdiri di ambang pintu kamar pria itu.

Alec menunduk untuk balas menatapnya tajam, "Jangan mulai, Re."

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang