06

7.6K 571 1
                                    

"Bentar, diem dulu,"

Alec kembali mengerang kesakitan ketika merasakan kapas basah beku menyentuh epidermis kulit wajahnya. Tangannya mencengkram seprai di bawah punggungnya kuat-kuat seolah dapat membantu meredakan rasa sakitnya.

Ia membuka sebelah matanya sedikit demi sedikit. Mempersilahkan cahaya silau menyapanya dengan siluet seorang gadis menjulang tepat di atasnya yang tengah sibuk mengurus semua luka di wajahnya.

Diam-diam ia bersyukur ketika aroma gadis itu merasuk ke dalam hidungnya. Masih sama, hanya sedikit bercampur dengan bau anyir darah segar dan bau obat-obatan agak pekat. Tapi setidaknya, hidungnya tidak mencium aroma maskulin lain yang menempel di tubuh Raine. Ia datang tepat waktu.

Alec memekik keras ketika jemari Raine tak sengaja menyentuh lebam di pelipisnya, "Akh, sakit!"

"Makanya kamu diem dulu." Balas Raine berusaha tidak panik.

Jemari Raine bergerak gesit untuk mengoleskan krim pereda nyeri di bagian dahi Alec yang mulai membiru. Gadis itu merasa tak enak hati melihat Alec yang kembali mengerang menahan sakit. Bagaimanapun juga itu tetap salahnya.

"Yang ini sakit, nggak?" Tanya Raine menekan bagian pipi Alec yang terlihat lebih gelap dari yang lain.

Alec mengerang. Memberi Raine tanda bahwa itu memang salah satu lebamnya yang tak terlalu parah. Raine langsung menutup sisa lebamnya dengan salep, dan melapisi kulit Alec yang sobek dengan perban juga obat merah.

Raine menghela napas panjang masih dengan jemari yang bergerak lincah di permukaan wajah Alec, "Boleh aku minta sesuatu?"

Alec hanya menjawabnya dengan gumaman singkat. Dahinya juga masih mengernyit menahan perih.

"Aku mau tinggal di apartemen aku sendiri."

Raine dapat melihat kerutan di dahi Alec yang semakin dalam. Ia jadi menyesal menanyakan hal ini dalam keadaan yang tidak tepat. Tapi, ia ingin cepat berpisah dengan Alec, secara fisik juga mental.

"Nggak." Sahut Alec tegas.

Raine menghentikan pekerjaan tangannya, "Nggak?"

"Nggak."

Raine menarik tangannya menjauh, "Aku akan beli apartemen di gedung ini, jadi orang-orang nggak akan curiga--"

"Nggak." Potong Alec cepat kini menatap lurus ke arah kedua mata Raine yang membulat.

"Kenapa?"

Alec hanya memberinya tatapan sinis sebagai jawaban untuknya berhenti bertanya. Ia bingung, apalagi alasan Alec menyekap nya di sini kalau bukan karena meminimalisir kecurigaan orang-orang di luar.

Raine kembali mengurus sisa luka di wajah Alec dengan jantung yang berdegup kencang. Ia mendadak merasa gugup ketika menyadari bahwa ini adalah pertama kalinya ia menyentuh permukaan wajah Alec secara terang-terangan. Dengan napas hangat pria itu menari-nari di lengan telanjangnya.

Ia merasa tubuhnya berdesir. Dan alasannya hanyalah karena pria itu.

"Maaf, Lec," lirih Raine menaruh kembali sisa perban dan obat ke dalam kotak P3K besar yang ada di sisi ranjang besar Alec.

Alec yang tadinya hanya menatap kosong ke arahnya, kini mendesah pelan. Ia sepertinya tidak berniat untuk membalas permintaan maaf Raine atau ia memang tidak ingin memaafkan gadis itu.

Raine khawatir.

"Sebentar, aku ambilin makan malam kamu," ujar Raine akhirnya.

Merasa tidak mendapat jawaban, lagi, ia pun langsung melenggang ke arah pintu keluar untuk mengambil makan malam yang mungkin sudah Bi Asti siapkan di atas meja. Ia bergerak menuruni tangga dan langsung menemukan permukaan meja yang bersih dengan tiga pelayan wanita berdiri di dekat counter.

Beautiful ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang