07. |Bertopeng|

24.3K 1.9K 112
                                    

"VAN!! MASYAALLAH INI ANAK KEMANA! RIVANSYAH!" teriak Tristan yang memenuhi ruang kelas mereka. Cowok dengan kulit cokelat itu, menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, mencari salah satu sahabatnya yang sangat tidak waras.

"Kenapa Tan?"

Tan? Setan?

Tristan langsung melotot. "Tan, Tan. Lo kira gue setan!"

"Elah santai aja Tris."

"Lo kira gue Trisula?!"

"Terus lo mau dipanggil apa kampret! Ngajak gue berantem?!" Bayu- cowok dengan tubuh gempal- berdiri. Ia memandang tajam ke aah Trisula.

"He he he. Tenang Bay, tenang." Tristan menaik turunkan kedua tangannya di udara. Mulutnya membuka dan menutup seperti ikan yang kekurangan udara. "Lo boleh manggil gue apa aja. Gue becanda tadi."

Bayu mendengus, meski begitu tak ayal ia duduk kembali seperti yang dikatakan oleh Tristan. "Ngapain lo cari Rivan, Tris?"

"Ada hal penting yang harus gue minta sama dia."

Tristan sudah mencari kemana pun Rivan. Di kamar mandi, taman, kantin, perpustakaan, ruang guru, BK, bahkan di tong sampah pun dia sudah cari Rivan. Tapi, tetap saja cowok satu itu tidak ada. Seperti menghilang di telan sekolah. Ia tahu Rivan itu tak bisa diam, apalagi kalau sudah berkaitan dengan anak-anaknya. Pasti heboh.

"Penting? Emang dia bisa gitu ngurusin hal yang penting, nilai ulangan matematika aja jeblok."

Tristan tertawa ngakak mendengarnya. Memang Rivan itu tidak terlalu pintar, bahkan pelajaran olahraga pun ia tetap mendapatakan nilak pas di KKM.

"Masalah tugas Seni, Tan?"

Tristan membalikkan tubuhnya, dan menemukan salah satu sahabatnya yang lain. Kevan namanya. Cowok itu tengah asik menyandar di pintu, dengan yogurt yang ia minum dengan sedotan.

"Ya. Lo lihat nggak tuh anak?"

Dari sekian pelajaran yang sudah dipelajari oleh mereka. Nilai Rivan pada bidang Seni yang bisa dibilang tinggi. Cowok itu pintar menggambar, gambar abstrak saja dapat nilai 80 apalagi yang nggak abstrak. Cowok itu bisa mendapatkan nilai 95.

Tristan percaya, kalau seseroang mempunyai kelebihan yang sudah disematkan diantara kebodohan yang ada. Contohnya si Rivan.

"Rivan? Gue lihat tuh anak di semak-semak taman belakang."

"Semak-semak?! Tuh anak makin nggak waras?"

"Lo tahu tuh anak kayak gimana, kalau berurusan sama dua anaknya udah hilang akal."

Tristan langsung bergegas mencari semak-semak tempat persembunyian Rivan. Pantas saja ia tidak mendapati Rivan di kamar mandi, cowok itu sudah mendapatkan tempat yang baru.

*****

Semak-semak yang berada di pojok dengan pohon mangga bergoyang-goyang. Sesekali menimbulkan suara yang mampu membuat orang lain merasa ketakutan.

"Kan kan, kamu mati lagi," seru seseorang yang kini masih selonjoran di belakang semak. Rambutnya yang mulanya rapi sudah berubah acak-acakkan. Beberapa helaian daun berad di kepala cowok itu. Matanya terlihat sendu ketika melihat salah satu anaknya mati.

Bukan anak sesungguhnya melainkan anak yang berada di dalam tamagochi. Anak yang sudah susah payah ia besarkan, mandi, memberikan makanan. Masih sibuk dengan benda oval berwarna pink itu, ia melupan benda berwarna putih yang berada di sampingnya. Ia baru menyadari ketika tanpa sengaja menoleh. Membuat kedua matanya melebar, dan menyambar benda yang tak lain adalah ponselnya.

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang