"Kadang kala, seseorang tak sadar bahwa ada yang hilang dalam dirinya. Sebelum rasa sakit menyapanya, sebelum luka mulai menyebar halus dalam hatinya"
Tak ada yang menjamin seseorang yang sudah berada lama di sisi akan menimbulkan luka yang begitu mendalam ketika ia pergi, begitu juga dengan seseorang yang sempat singgah meski sebentar dalam kehidupan. Tak ada yang bisa menjamin, ketika ia pergi luka yang dihasilkan hanya sedikit. Karena luka datang disebabkan oleh orang yang begitu penting bagi hidupnya.
Perlahan tapi pasti, ada rasa sakit yang mulai menampakan diri. Mengambil alih sedikit bagian dalam ruang diri, melebarkan kedua sayap, memenuhi ruangan itu dengan rasa tidak tenang yang menyiksa. Ada beberapa orang yang langsung sadar akan rasa sesak itu, ada beberapa orang yang membutuhkan waktu lama rasa sakit itu timbul karena apa. Seperti saat ini, seperti pemilik sepasang mata kopi, Aska.
Cowok itu tidak bisa tenang, ada yang mengganjal dalam dadanya. Bahkan ketika ia tidur pun perasaannya masih sama. Ia bingung apa yang salah. Satu hal yang juga masih sama, ingatannya tidak bisa lepas dari dua orang yang berbicara semalam. Rivan dan Fely. Aska tidak tahu, kenapa dia tidak bisa mengenyahkan pemandangan itu dalam pikirannya?
"Gue kayaknya udah nggak waras." Aska bergumam, dia mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Menyelipkan kesepuluh jemarinya di sela-sela rambut. Matanya terpejam, seolah ingin menutup diri dari bayangan itu. "Ngapain juga bayangan dua orang itu masih di otak gue."
Menyerah, Aska bangkit dan memilih mengambil jaket, menyelimuti tubuh bagian atasnya. Dia akan lari pagi sebentar meski matahari belum muncul. Sempat ia melihat ke arah jam, dan ini baru jam enam kurang. Ia tidak lupa memasang headset di kedua telinganya,
Rumah yang selalu sepi, membaut Aska leluasa untuk pergi kapan saja. Ia mendekati pintu, membukanya, dan aroma hujan mulai menyapannya. Sejenak ia terdiam, dan pikirannya kembali berkelana tanpa di minta.
Aska tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Fely. Ia bahkan sengaja berdiam diri di tempatnya saat ini. Tubuhnya seakan terpaku di sana, tidak ingin digerakan sama sekali. Rivan sudah menghilang dan kini ada rasa lega dalam dirinya. Tidak tahu karena apa.
Dari pandangannya, dia bisa melihat senyuman Fely mengembang, dan entah kenapa bukannya senang, ada rasa pedih yang menyayat hatinya. Terlebih jika senyuman itu diberikan pada Rivan tadi, rasa pedih semakin kuat.
Dia terus berada di sana, sampai Fely selesai kerja. Ia terus membututinya, entah karena apa. Ketika rintik hujan mulai menyapa, gadis itu mengadahkan kepalanya, begitu pun dengan kedua tangannya. Seakan menikmati, dan membiarkan badannya basah karenanya. Tidak lama sebelum akhirnya dia berjalan pulang.
Aska menutup matanya rapat-rapat, menghembuskan napas keras, memotong serpihan ingatan yang sangat mengganggunya.
"Dia itu cuman bahan taruhan, nggak ada urusannya sama gue," kata Aska pada diri sendiri sebelum akhirnya melangkah pergi, melakukan apa yang dia inginkan. Dia berharap dalam hatinya, rasa yang mengganjal itu bukan apa-apa.
****
"Ma, ini genteng bocor, kenapa Rivan juga sih yang harus perbaiki!"
Pagi-pagi buta sekali, tidurnya kembai diganggu dengan gedoran pintu Mamanya. Awalnya dia pura-pura masih tidur, tapi karena ancaman dari sang Mama, kedua matanya sontak terbuka sempurna dan kedua kakinya melangkah dengan cepat. Dan di sinilah dia berada, berhadapan dengan Mamanya di ruang tamu, dengan sebuah botol air putih. Rivan bersidekap, cowok itu terlihat kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...