47 | O S B

15.2K 1.4K 125
                                    

"Gue heran, kenapa juga mau liburan tugas numpuk? Nyiksa banget tahu nggak sih." Tristan mulai menulis kalimat berikutnya. Tugas merangkum hingga lima lembar double polio. Belum lagi tugas matematika, dan tugas sejarah. Hari yang seharusnya di sambut dengan suka cita, sekarang malah disambut dengan kemuraman.

"Udah takdir kali." Kevan menggaruk sisi kanan kepalanya dengan satu jari, sebelum kembali menempelkan ujung bolpen ke atas double polio. Ia menoleh lalu menghela napas. "Kenapa nggak sebelum mau libur aja sih ngasih tugasnya? Kenapa nggak kemarin-kemarin?"

"Bener kan? Bener? Aneh kan? Selalu setiap liburan, tingkat tugas meningkat drastis." Tristan berdecak. "Sebuah misteri yang sulit untuk dipecahkan apa penyebabnya."

Kanaya menghentakkan bolpen ke atas meja, menyebarkan hentakan keras yang menarik perhatian. Ia mendelik kesal ke arah Tristan, cowok yang sekarang begitu terlihat frustasi dengan beban tugasnya. "Bisa diem nggak sih lo, Tan. Gue nggak konsen ngerjain!" protes Kanaya yang sejak tadi berusaha menguraikan rumus matematika yang menyebalkan di depannya. "Ah serius deh." Diarahkan pandangannya pada Fely yang ada di hadapannya. "Fel, ini, bisa nggak gue pass, atau lo ajarin deh ke gue."

"Ah ini." Fely menunduk. "Lo tinggal pindahin ruas, terus.." tangannya begitu lihai menggesekan bolpen pada selembar HVS menjawab pertanyaan yang tidak dimengerti oleh Kanaya. "Udah, jadi jawabannya c."

"Wah, kok gue nggak kepikiran ya." Kanaya menarik kertas yang ada di Fely, memperhatikan dengan teliti. "Gue bawa pulang ya." Fely mengangguk.

Kini mereka semua berada di sebuah kafe, untuk belajar. Karena sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian. Dinding-dinding kafe terlihat dihiasi beberapa macam floating shleves yang mempunyai beragam corak warna. Tak jarang di dalamnya berisi buku yang membantu pelanggan untuk mengikis kebosanan yang ada. Dan seperti kafe lainnya, ada lagu yang mengalun di sana. Entah lagu Indonesia, Inggris, bahkan Korea yang sedang digemari oleh kalangan muda menjadi pendamping mereka.

Berbeda dengan yang lainnya Fely sudah bisa bernapas lega. Tugasnya sudah ia selesaikan, hingga sekarang yang dia lakukan adalah menghabiskan waktu dengan mengerjakan soal, atau melihat kesekeliling. Menatap kagum kafe yang kini mereka tempati. Sejujurnya, dia tidak mau ke sini, karena harga yang ada di sini lebih mahal dibandingkan dengan kantin. Tapi, mereka memaksa dengan segala hal, hingga akhirnya di sinilah dia.

Udara mendadak menipis disekitarku ketika mengatakan kata 'teman' Fely memainkan bolpennya dengan ragu. Ia memperhatikan teman-temannya –kalau boleh dia anggap seperti itu. Karena sejujurnya dia tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengatakan bahwa mereka adalah teman-temannya. Setiap dia mengatakan itu, seolah ada tali yang menarik dirinya untuk kembali ke masa lalu.

"Kenapa Fel? Lo mau ngomong apaan?"

Suara Citra menyentaknya, dan menarik Fely kembali dari alam ketakutannya. Hampir semua orang yang ada di meja itu melihatnya. Iya, hampir. Hanya satu orang yang tidak.

Cowok yang berada di pojokan masih dengan kepala menunduk.

"Anu, itu."

"Anu apa hayo anu apa?" Tristan menunjuk Fely dengan bolpen yang masih di sela jemarinya. "Iya becanda, becanda."

"Ngomong aja Fel. Kenapa?" Kevan ikut nimbrung, ia menyikut seseorang yang berada di sampingnya. "Ikut ngomong deh."

"Nggak penting."

Kevan berdecak, dan yang lain juga melakukan hal yang sama. "Kenapa tadi Fel?"

"Masalah pergi ke Vila buat belajar, gue," Fely menunduk, rasanya berat untuk mengutarakan keinginannya. Bagaimana jika ajakan itu hanya sebuah basa-basi? Bagaimana jika mereka sebenarnya tidak ingin dia ada di sana?

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang