23| O S B

16.1K 1.3K 95
                                    

Jangan tinggikan ego, kalau cemburu bilang cemburu.

***

Hening, kata itulah yang bisa menggambarkan sebuah kamar yang berada di lantai dua. Tidak ada penerangan yang berarti, bahkan korden yang terpasang di depan jendela sudah tertutup rapat, seolah menghalau sinar yang masih terpancar dari langit, mencoba untuk mengintip, seolah sang pemilik enggan untuk terganggu.

Kalau tidak menajamkan mata, menjelajah kamar yang cukup luas dengan hati-hati tidak ada yang menyadari sosok yang kini tengah bersembunyi di balik selimut. Menutupi diri dari atas hingga bawah. Bahkan jika tidak mendekat, tubuh yang kini tertutup itu akan dikira guling, karena tidak ada pergerakan yang dikeluarkan oleh pemilik kamar itu.

"Abang!!!" Derapan langkah kaki yang begitu cepat, menggema memenuhi ruangan , menyibak keheningan yang tercipta. Handle pintu bergerak-gerak berulang kali, sebelum pintu terbuka dengan lebar, dan menampilkan gadis kecil dengan lolipop besar. Icha.

Mata gadis itu menyipit, mencari keberadaan kakak kandungnya yang tidak kelihatan karena gelap. Icha memutuskan untuk mendekati ranjang. Berpikir bahwa kakaknya ada di sana. Ia loncat begitu saja, meloncat-loncat dengan mengemut lolipop warna waninya.

"aww!" Icha langsung jatuh di sisi lain ranjang ketika sesuatu di bawahnya bergerak.

Rivan menyibakkan selimutnya, wajahnya tampak jengkel, tidurnya terganggu. "Dasar ban...cicak," semprot Rivan setelah merevisi perkataannya. Ia mengubah posisinya menjadi duduk, menatap nyalang ke arah adiknya yang kini tengah meringis.

"Ngapain sih ke kamar Abang? Kamu kan punya kamar sendiri, nggak usah maruk!" Rivan berseru dengan kencang, tapi tangannya langsung menarik Icha untuk menghadap ke arahnya. Matanya bergerak, memperhatikan kondisi adiknya. "Apa yang sakit?"

"Pantat." Icha menjawab dengan lirih, air mata bahkan sudah siap untuk tumpah.

Kesal tapi sayang, Rivan mengusap kepala Adiknya. Untung adik. Itulah perkataan yang sering kali ia katakan dalam hati, jika Icha mencari gara-gara padanya. Lagian, nih bocah ngapain ke kamar, coba.

"Kamu ngapain ke sini? Abang sibuk nggak bisa diganggu, gih pergi." Rivan menunjuk pintu dengan dagunya, mengusir dengan halus adiknya itu.

Matanya langsung menyipit, tangannya terbuka menghalau sinar lampu yang mendadak menyala, menyilaukan matanya.

"Galak, tapi sayang sama adik ya. Kakak yang baik."

Rivan tahu suara itu, suara terlaknat yang hari ini tidak ingin ia dengarkan. Mengarahkan pandanganannya ketika matanya sudah menyesuaikan diri. "Ngapain lo pada ke sini? Gue nggak butuh pengganggu."

"Jengukin orang yang lagi patah hati." Kevan cengir sambil berjalan masuk. Ia menunjukan buku pada Rivan ketika laki-laki itu menatapnya tajam. "Ngerjain tugas, Bang," tambahnya disela tawanya.

"Abang Rivan!" Tristan menyembul dari balik tembok. Kedua tangannya terbuka lebar, ekspresinya begitu menjijikan. "Sini, Bang, kalau butuh pundak." Tristan menepuk pundaknya sendiri dengan tangan kanan. "Ada pundak Tristan yang siap menemani."

"Bangke!" Rivan melempar bantal yang tepat jatuh di muka Tristan. "Minggat sono!" teriaknya memenuhi kamar.

Dia sudah mencoba menenangkan diri, menurunkan setiap emosi yang ada, dan setelah usaha kerasnya kini emosinya tersulut, memang minta dikebiri nih dua orang. Riavan menoleh dengan pandangan terganggu, ketika kaosnya ditarik-tarik.

"Apa?"

Icha memanyunkan bibirnya, ia memandang ke arah Kevan dan Tristan, lalu kembali ke arah Rivan. "Bangke itu apa?" tanyanya dengan polos.

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang