Nyatanya tanpa kamu sadari, kamu menyukainya.
Dengan setiap rasa yang kamu miliki.Angin yang berhembus kencang membuat jaket Rivan berkibar di kedua sisi, memperlihatkan pakaian olahraga yang membungkus tubuhnya. Sorot matanya menajam, bibirnya manyun, tangannya terangkat menyelipkan benda putih di sela bibirnya. Menyedot isi kotak berwarna cokelat dengan cepat.
Ia haus, dan susu adalah minuman terbaik di pagi hari.
Langkah kakinya berjalan cepat. Pundaknya sesekali miring ketika mereka berpapasan dengan orang lain. Tidak ada keramahan pada wajah Rivan. Ia tampak marah. Arah ia berjalan bukan ke kelasnya sendiri, melainkan ke kelas cewek pembuat onar. Gara-gara kerjaan cewek itu, kemarin dia harus begadang menunggu ember penuh, hukuman karena menyembur Mamanya dengan mie.
Sialan, memang.
Ia berhenti, tepat di depan kelas Kanaya. Tanpa ragu dan penuh kepercayaan diri. Ia melongokan kepalanya. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sosok cewek tomboi nan menyebalkan. Di sana dia, di pojok kelas tengah duduk di meja, dengan tawa yang mengiringi.
Rivan masuk, mengabaikan pandangan yang terarah padanya. Dia harus memberikan pelajaran pada cewek itu. Kanaya harus tahu bahwa Rivan tidak menyukai kalimat yang dikirim untuknya. Tanpa segan, ia menarik tangan Kanaya menarik cewek itu keluar dari kelas.
"Rivan! Lepasin!" Kanaya yang memang mempunyai tenaga besar, tidak sulit untuk melepaskan diri dari Rivan. Ia tinggal menarik tangan Rivan lalu mendekatkan di depan mulutnya.
"Anjir!" teriak Rivan membahana. Ia menarik tangannya, di sana ada bekas gigitan dari Kanaya. Ia mengusap tangannya dengan perasaan nanar. Kulitnya sudah tidak mulus lagi. "Heh, ngapain lo gigit tangan gue! Emang dasar manusia jadi-jadian lo! Nggak punya etika!" sentak Rivan sambil menunjukan tangannya di hadapan Kanaya.
Kanaya melirik, lalu menyeringai. Wajahnya tampak tidak bersalah. Ia bahkan tidak tersinggung dengan perkataan Rivan. Sudah biasa. "Lo yang ngapain tarik gue!"
Mengingat itu, Rivan menghembuskan napasnya kasar. Karena digigit oleh Kanaya dia sampai lupa dengan tujuannya saat ini. Ia menarik tangan Kanaya. "Awas lo gigit gue, gue gigit balik!" ancam Rivan yang tidak main-main. Kanaya yang tahu itu hanya mendengus, dan membiarkan dirinya dibawa oleh orang sadis di depannya ini.
Mereka terus berjalan melewati beberapa orang yang melirik mereka dengan tampang penasaran. Biasa, kalau ada yang seperti bertengkar pasti akan menarik perhatian mereka, dan menimbulkan rasa keingintahuan.
Rivan melepaskan tangannya dan menghempaskan Kanaya kasar ditembok. Mata kelabunya menggelap, memberitahukan bahwa sang pemilik tengah dilanda kemarahan. Kanaya menelan ludah, hal yang paling tidak ingin ia hadapi adalah kemarahan Rivan.
"Denger," Suara Rivan berat, sangat berbeda dari biasanya. Ia mencondongkan tubuhnya, mengukung Kanaya dengan tangan yang berada di dua sisi. Rivan memberikan tatapan intimidasi, mulutnya terbuka bukan untuk mengeluarkan kalimat, melainkan menyeruput susunya yang masih ada.
Kanaya hampir saja tertawa, kalau tidak melihat pelototan Rivan yang membuat ia mengulum bibirnya kuat.
"Ngapain lo ngomong kayak gitu ke bego?!" Rivan menghardik keras Kanaya.
"Bego? Siapa? Namanya dong Van." Kanaya bersidekap. Ia membalas tatapan Rivan dengan jail.
Sungguh, Kanaya hanya berpura-pura tidak takut. Ada alasan kuat kenapa dia tidak menunjukannya pada Rivan. Dia tidak sengaja melihat Rivan mengamuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Ficțiune adolescențiBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...