26 | O S B

16.8K 1.3K 131
                                    

Dia yang diam terkadang lebih peduli, dibandingkan

dengan dia yang terlalu banyak bicara.

"Lo mau kemana gadis naif?"

Fely menegang, wajahnya tampak terkejut mendengar panggilan itu. Panggilan yang hanya disebutkan oleh Rivan. Deru napasnya memburu, detak jantungnya mendadak semakin tidak stabil. Ia gugup. Perlahan Fely membalikan tubuhnya, matanya membola, terkejut dan lega ketika melihat siapa yang menariknya.

Kanaya.

Teman Rivan.

"Lo kira gue Rivan?" Kanaya melepaskan tangannya lalu bersidekap. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman Dia memperhatikan Fely dari atas sampai bawah, sebelum menggelengkan kepalanya. Fely meringis, sembari menunduk. Merasa sedikit takut dengan tatapan Kanaya yang menghenus dirinya. "Cara Rivan bukan kayak gini."

"Maksudnya?" Fely tidak mengerti dengan perkataan Kanaya yang menurutnya ambigu. Kayak gini gimana?

Kanaya menghendiikkan bahu, enggan untuk menjawab. Membiarkan Fely dibingungkan dengan kalimatnya. "Lo ngapain di sini?" tanyanya sembari bersidekap.

"Ehm,neduh."

"Taulah ogeb," seru Kanaya geregetan. "Maksud gue, lo habis dari mana? Kenapa nyasar ke sini?"

Sebenarnya Kanaya hanya berbasa-basi, dia ingin menilai Fely secara terang-terangan. Dia penasaran, kenapa Rivan begitu emosi dengan Fely. Meski ya, dia tahu sedikit alasannya apa. Ia mengeluh ketika rasa dingin kembali menyapanya.

Fely menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya, menarik kehangatan untuk timbul sesaat. "Tadi pergi sama Aska."

"Lo ditinggal?" Kanaya tidak bisa menyebunyikan rasa keterkejutannya serta ketidakpercayaan yang hadir ketika mendengar perkataan Fely. Ternyata Aska memang sebajingan itu ya? Ia tersenyum geli sendiri.

Menolak dengan tegas, Fely menggelengkan kepalanya. "Nggak. Dia ada urusan." Ia mengatakannya dengan nada yang dinaikan, karena hujan yang mulai deras, membuat suaranya teredam.

"Oh.. lo yakin?"

Kanaya tertawa pelan, merasa lucu dengan kepolosan Fely. Dia yakin, itu bukan hanya sekedar urusan, sampai Aska menurunkan Fely di jalan. Lagipula, kalau dia memang menyukai Fely, cowok itu akan mengantarkan dia sampai rumah. Mengingat perlakuan Aska pada Ileana yang berbanding terbalik dengan sikapnya pada Fely.

"Yakin."

"Beneran yakin?" Tawa Kanaya semakin besar, menarik perhatian beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya.

Mendadak, rasa ragu melingkupi diri Feli. Ia memandangi Kanaya, menelisik ekpsresi gadis yang kini terlihat mencemoh. Perlahan, dia menganggukan kepalanya, menampik keraguan itu.

"Iya."

Kanaya menggeleng, tak habis pikir dengan Felly. Masih dengan posisi yang sama, ia semakin mengikis jarak. "Lo kenapa percaya banget sama si Aska sih? Rivan bukannya udah bilang, kalau mereka itu nggak tulus ke lo. Mereka tuh cuman mainin lo ngerti nggak sih."

"Nggak mungkin," Fely menjawabnya cepat, bahkan terlalu cepat. Bagi Fely, dia merasa Aska dan Ileana tidak seperti itu. Sampai saat ini dia tidak mendapatkan alasan kenapa Rivan berkata seperti itu.

Kaget, Kanaya sempat terdiam. Ia takjub dengan tingkat kepercayaan Fely pada dua orang yang sudah dia anggap ular itu. Pantas saja Rivan mengamuk pada gadis ini. Benar-benar naif.

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang