Karena rasa tidak mudah untuk ditepis keberadaannya.
"
"Ini," Fely melihat ke arah Citra dan Kanaya bergantian. "nggak terlalu bagus buat gue?" Fely memandang dress panjang yang kini sudah tergeletak di atas ranjangnya. Gaun berwarna pitch. Fely sering kali melihat gaun semacam itu ketika ia bekerja. Pelanggannya yang beragam, membuat Fely sering melihat beragam macam pakaian yang membuat ia kagum.
"Nggaklah. Kita udah pilihin yang cocok sama lo." Citra mengambil gaun itu dan menaruhnya di bagian depan tubuh Fely. Memperhatikan. "Suka gaun nggak? Gue sama Kanaya juga udah milihin kaos sama celana juga. Lo mau yang mana?"
"Heh? Nggak usah." Fely langsung menggelengkan kepalanya dan menggerakan kedua tangannya, menolak. Dia masih tau diri untuk menerima pemberian mereka berdua. Bahkan ini sudah terlalu wah untuknya. "G-gue pakai baju gue aja. Maaf ya, bukan gimana. Ini terlalu bagus buat gue."
"Apaan sih. Kalau bagus ya lo pake."
"Kalau kotor?"
"Tinggal dicuci elah. Susah amat." Kanaya meletakan perlengkapan make upnya lalu ikut bergabung dengan keduanya. "Jujur sama kita, lo takut kita apaan sih sampai ekspresi lo kayak gitu.
Ekspresi Fely sekarang begitu tidak enak dilihat. Wajahnya begitu menunjukan ketakutan, bibirnya bergetar kecil, tatapannya bergerak dengan gelisah. Tak heran jika Kanaya mengatakan seperti itu. Fely sendiri sejujurnya dia senang, namun karena ini hal yang jarang ia terima, rasanya ... aneh.
"Bu—bukan gitu." Fely meremas jemarinya. Rasa dingin mulmenyergapnya. "Gue cuman nggak mau ngerepotin lo."
"Nggak ngerepotin astaga. Harus berapa kali sih gue harus bilang ke lo. Kita nggak ada yang ngerasa repot. Kita semua beda sama mereka." Citra mengerang frustasi ia berbalik menghembuskan napas kasar dan kembali berhadapan dengan Kanaya. "Seumur-umur, gue nggak pernah nemuin orang kayak lo. Suer dah. Bikin emosi."
"Maaf."
"Berhenti bilang maaf!" Kanaya menaikan suaranya sedikit. Ia terlihat frustasi sama seperti Citra. "Sekarang, lo tinggal milih, mau apa nggak? Itu saja. Nggak usah mikir apa-apa. Ini kita lakuin bukan buat kita sendiri, tapi buat lo."
****
"Jangan deket-deket sama gue," peringat Rivan pada Tristan yang baru saja bergabung dengan mereka –Rivan dan Kevan- di ruang tengah. Ia memejamkan mata, mencari ketenangan. Seharusnya dia masih tidur di atas ranjangnya yang hangat, bermimpi memiliki ratusan tamaghocy dengan beragam model, bukan seperti ini; duduk dengan tujuan tak jelas.
Kembali ia menguap di antara waktu yang ada. Kanaya, semua ini gara-gara cewek barbar itu yang menghancurkan tidurnya. Ia mengacak rambutnya sesaat sebelum bangkit. Rivan tidak tahan lagi, menunggu sesuatu yang tak jelas membuatnya kesal sendiri.
"Mau kemana Van?" Kevan menyetop gamenya lalu mendongak, menatap Rivan yang kini sudah berada beberapa jarak dengannya.
"Bukan urusan lo." Rivan mengusap tengkuknya sembari berjalan ke kulkas. Mencari susu yang sudah ia selipan di sana. Paginya harus disembuhkan dengan sekotak susu atau lebih. Rivan menyelipkan salah satu tangannya pada saku celana, dengan tangan satu yang kadang menyugar rambutnya. Ia sempat berhenti, memandang lantai dapur dengan mata yang menyipit, tak suka.
"Orang bodoh mana, masak tapi pikirannya nggak ada di otak," kata Rivan penuh ketidaksukaan. Ia kembali berjalan dan mengambil susu di dalam kulkas dan menyeruputnya perlahan. Rasa manis langsung menyebar dalam tubuhnya. Membuat ketenangannya perlahan muncul. Sayangnya ketenangan itu perlahan surut ketika ia mengingat bahwa apa yang akan mereka habiskan setelah liburan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...