Banyak alasan untuk tersenyum, dan salah satunya untuk menyembunyikan luka.
Masih di tempat yang sama, Fely menatap cermin yang ada di depannya dengan gugup. Ia melihat sendiri pantulan dirinya dari sana. Bagaimana penampilannya saat ini. Rambut yang dia biarkan tergerai lurus, menutupi sedikit bagian punggungnya, dengan baju berwarna merah marun yang warnanya sudah sedikit pudar, celana jeans hitam yang pas dikakinya. Rasanya dia masih bermimpi kalau ia akan kencan dengan Aska.
Kencan pertama mereka.
Rasa panas mendadak menjalar di wajahnya, membuat ia menangkup kedua pipinya sendiri, mencoba menghentikan rasa panas itu.
"Ayolah, Fel, ini bukan kencan, bukan. Ini hanya jalan berdua, iya jalan berdua sebagai temen. Anggap aja seperti itu." Fely menganggukan kepalanya, merasa setuju dengan ucapannya sendiri. Sejak semalam ia terus memikirkan itu, bahkan dia tidak tahu, sudah berapa kali jantungnya menaikan tempo debarnnya ketika dia memikirkan chat dari Aska. Ia menepuk pipinya sendiri berulang kali, sebelum akhirnya dia memilih untuk meninggalkan kamar, memastikan bahwa Bundanya sudah memakan masakannya.
Kesunyian langsung menyapa Fely, menyadarkan bahwa tidak ada siapa-siapa di sana. Perlahan Fely menuju ruang makan rumah mereka. Berharap Bundanya masih ada di sana.
Memang, selama ini, dia dan Bundanya tidak pernah makan satu meja. Entah Fely yang terlebih dulu yang makan, atau Bundanya. Satu hal yang mendasari semua itu, karena Bundanya tidak mau melihat dirinya, karena benci. Ya benci. Pernah suatu ketika, di mana ia ingin sekali makan bersama dengan Bundanya seperti orang lain di mana saling bersitatap, mengobrol bahkan saling tertawa besama. Fely ingin sekali merasakan itu semua, meski hanya sekali. Dia langsung duduk begitu saja, menebalkan muka, hasilnya, semua makanan dilempar ke arahnya. Dan sejak saat itu dia tidak mau mencoba, bukan karena marah, karena dia tidak mau Bundanya semakin membencinya.
Bahkan saking inginnya, dia pernah berkata dalam hati, andai saja aku yang ada di posisi mereka yang bisa leluasa menatap Bundanya, berbicara pada Bundanya, dia tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan itu. Tidak akan pernah menolak jika ingin diajak bicara, tidak akan mencari alasan hanya karena ingin sendiri. Dia tidak paham kenapa banyak orang yang seperti itu, padahal ada yang berharap bisa memiliki kesempatan untuk beristatap dengan Bundanya, seperti dirinya.
Langkahnya terhenti, kabut mulai menguasai matanya, rasa nyeri mulai muncul di dalam dirinya, ketika pandangannya jatuh pada makanan yang masih menghiasi meja. Menutup matanya sejenak, Fely mencoba menennagkan diri, menutupi luka yang barus aja timbul sebelum akhirnya berbalik dan melangkah ke arah pintu kamar Bundanya.
Ragu, takut, dan khawatir, tiga hal yang kini menyelimuti dirinya. Fely menarik napasnya sebelum mengetuk pintu kamar yang begitu dingin. "Bunda, ayok makan, Fely udah masakin buat Bunda," panggilnya di sela-sela ia mengetuk pintu. Tak ada sahutan, Fely kembali memanggil Bundanya, dan ketika suara kunci terdengar serta pintu tak lama dibuka, Fely tersenyum lebar, tak lama sebelum sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Menghilangkan semua senyuman itu.
"Berisik sekali kamu jadi anak! Saya mau istirahat!" bentak Bundanya begitu nyaring, hingga Fely yakin suara itu akan terdengar ke tetangga.
Fely memegang pipinya, rambut yang tidak ia ikat seakan menutupi bagaimana merahnya pipi Fely karena tamparan itu. Merasa bersalah, Fely menundukan kepalanya, "Maaf Bunda, Fely kira.."
"Kira apa?! Makanya otak kamu dipake!" sentak Bundanya yang langsung membuat bibirnya bungka. "Sekarang, mana uang hasil kerja kamu? Make up saya habis, dan saya mau tas baru." Tabita menodongkan tangannya, raut wajahnya tak merasa bersalah setelah menampar anaknya begitu kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Dla nastolatkówBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...