Fely mencatat dengan teliti apa yang tertulis di papan. Wajahnya tampak serius memperhatikan papan dan sesekali melihat sang guru yang menjelaskan. Dari luar gadis itu tampak tenang, seakan-akan tidak terjadi apa pun hari ini.
"Fel, gue boleh minjem tipe-x nggak? Punya gue habis." Citra teman sebangku Fely menoleh ke arah Fely dengan raut memelas.
Fely mengangguk tanpa beban, dia mengambil tipe-x milinya dan menyerahkan pada Citra. "Ini."
"Makasih ya Fel. Dan maaf, nggak bisa bantu lo tadi," bisik Citra.
"Gue nggak apa-apa kok, udah biasa." Fely tersenyum hangat.
Bohong, sebenarnya dia kenapa-napa. Dia ingin menjerit, mengeluarkan semua perasaan sesak yang ada dalam dirinya. Tapi, dia tidak mau menghancurkan apa yang sudah ia jaga mati-matian. Beasiswa. Itulah yang membuat Fely bertahan, untuk tidak mengadu. Dulu dia sempat mengadu, tapi, percuma. Dia dianggap pembohong. Karena itu, dia tidak mau repot-repot mengadu, dan mengancam beasiswanya.
Citra kembali sibuk dengan buku catatannya, dan mengembalikan tipe-x itu tanpa mengucapkan apa pun.
Sudah biasa bagi Fely, hanya dipanggil sebentar, lalu di anggap seperti angin lalu. Dia menolehkan kepalanya, mengarahkan pandangannya pada teman sekelasnya. Memperhatikan satu persatu teman-temannya. Dia iri, dia ingin seperti mereka, yang bisa bercanda gurau, saling tertawa, bahkan saling mengobrol satu sama lain. Tapi, sayangnya, dia tidak bisa. Karena tidak ada yang mau berteman dengan dirinya.
Jam pelajaran pertama hingga ke empat, Fely hanya menghabiskan dengan diam seperti biasa, sesekali melamun. Andai saja dia bisa mempunyai teman seperti orang lain, mungkin kehidupannya bisa sedikit bahagia.
****
"Rivan! Woy! MasyaAllah. Itu celana gue jangan dibawa kabur!"
Teriakkan itu membahana, memenuhi lorong sekolah, membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah dua makhluk yang baru saja keluar dari toilet.
Orang yang bernama Rivan terhenti. Dia menoleh ke belakang dengan tampang tak bersalah. "Apa sih? Siapa juga yang bawa celana lo kabur? PD bener lo. Bilang aja, kalau lo nggak mau lepas dari gue."
Teman-temannya yang sudah terlebih dulu ganti pakaian, menyoraki keduanya dengan serempak, berniat untuk menggoda.
Rivan cuek, tak terpengaruh dengan godaan bahkan siulan yang terjadi.
Sedangkan orang yang merasa celananya diambil oleh Rivan berjalan cepat dengan wajah memerah. Dia menyambar sesuatu yang menyangkut di tas Rivan dengan cepat, lalu menunjukkannya pada cowok yang kini masih memasang tampang innocent.
"Nih buktinya!" kata Kevan.
Rivan memandang Kevan dan celana sekolah milik Kevan bergantian. Dia menepuk pundak Kevan berulang kali, membuat Kevan yang kesal mendadak dilanda bingung.
"Gue tahu kok, kalau lo segitu ngefansnya sama gue, tapi, jangan kayak gitu. Nanti gue kasih tanda tangan, oke." Rivan langsung pergi dari sana langsung, mengarahkan kakinya ke arah kantin.
Kevan hanya menepuk jidatnya, kenapa dia mempunyai sahabat macam Rivan? Batinnya, tapi, "Van, tungguin gue. Gue ganti celana dulu," teriaknya seraya masuk ke dalam toilet kembali.
Rivan hanya mengangkat tangannya, memberikan jempol pada Kevan, tapi, cowok itu terus berjalan. Seakan jawabannya adalah gue tungguin lo ditempat yang gue tuju.
Cowok itu mengibaskan pakaian olahraga yang masih ia gunakan, keringat terlihat jelas di wajahnya. Rivan yang mempunyai nama lengkap Khandra Alfa Rivandra, menebar senyuman pada orang yang melihat ke arahnya. Dia tidak pintar, dia tidak bodoh, dan dia bukan cowok most wanted di sekolahnya, tapi, dia manusia seperti orang lain. Baginya, buat apa menjadi cowok yang dikejar-kejar banyak orang, sangat merepotkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...