45 |O S B

18.4K 1.4K 133
                                    

"Males. Emang lo siapa bisa nantang gue?" Rivan mengalihkan pandangannya ke guru olahraganya – Pak Nino. "Saya nggak mau, Pak. Jangan bawa-bawa saya."

"Elah, Van, mau aja sih."

"Iya, lagian cuman main basket aja."

"Heeh. Atau jangan-jangan lo nggak bisa main basket."

"Wah, cemen."

Banyak hal keluhan demi keluhan terdengar dari berbagai sisi. Awalnya hanya kedutan di alisnya yang terasa, lalu perlahan merembet ke segela otot di dalam tubuhnya. Telinganya sudah begitu panas, bibirnya mulai berkedut.

Tristan menendang kaki Kevan, menarik perhatian. Setelah sohibnya itu menoleh dengan tampang kesal, dia mencondongkan tubuhnya. "Menurut lo apa yang bakal terjadi?"

"Emang apalagi?" Kevan memalingkan wajahnya, dia bersidekap. Salah satu kakinya ditekuk sedikit, sebagai tumpuan. "Marah lah, nggak lihat tuh mukanya udah merah siap meledak.

"Tinggal beberapa detik lagi ya."

"Diem lo semua!" Rivan sudah kehilangan kesabaran, sorot matanya menajam. Ditatap semua sisi dengan jengan, dan pandangannya jatuh pada Aska.

"Kan bener." Tristan tersenyum puas.

"Gue bukan pembantu lo semua yang harus nurutin perkataan lo. Kalau lo semua emang mau dia," Rivan menunjuk Aska lurus. "main basket. Pake diri lo sendiri, jangan bawa-bawa nama orang lain. Nyusahin tahu nggak sih."

"Sok banget."

Senyum terbesit di wajah Rivan. "Iya gue sok, kenapa? Masalah? Lagian kalau tahu gue sok, ngapain lo semua minta ke gue buat nerima tantangan dia? Lucu." Rivan menyugarkan rambutnya, sembari tersenyum miring.

Pak Nino, menepuk kedua tangannya. "Berhenti. Kalau kamu nggak mau Rivan, ya udah. Kita batalin saja. Sekarang kita mulai saja olahraganya."

Tentu perkataan itu membuat hampir semua kaum hawa mengeluarkan protesannya, dan masih berharap bahwa tanding antar kelas akan tetap diselenggarakan. Mereka tentu tidak mau kehilangan kesempatan karena itu. Masih dengan membujuk, sesekali mereka melemparkan tatapan muak pada Rivan.

Yang ditatap hanya mengeluarkan ekspresi datar, tak terganggu dengan tatapan yang mengarah padanya. Kegaduhan masih berlanjut sebelum akhirnya suara Aska meredam keramaian dengan kata-katanya.

"Gue nggak tahu lo sepengecut ini." Sudut bibir Aska tertarik ke atas, menunjukan seringaiannya. "Apa lo sebegitu takutnya sama gue?"

"Takut?" Rivan membeo. "Gue? Lo ngelawak?"

"Nyatanya?" Aska memiringkan kepalanya.

Derel membuka mulutnya takjub, lalu melihat Rivan mencari tahu reaksi cowok itu

Raut wajah Rivan semakin datar, bibirnya sudah membentuk garis lurus. Kedua alisnya tertekuk. Siapa pun yang melihat itu berpikir bahwa cowok itu marah.

Rivan menunduk, bibirnya menyunggingkan senyuman yang membuat Aska menatapnya bingung. "Nyatanya? Lo lebih pengecut dari gue. Lo emang tipe orang yang buat permainan ya? Sekarang apa? Lo mau buat taruhan macam apa? Lo tahu," Rivan menatap Aska. "Permainan lo itu sampah, sama kayak lo"

Giliran Aska yang menunjukan kemarahannya, dan tanpa sadar, mengatakan,

"Sampah? Kalau gue sampah, dia nggak bakal mau sama gue." Alis Aska naik sebelah. "Ah seharusnya gue nggak usah nantang lo ya. Pengecut, tetap pengecut. Bagaimana pun gue minta lo pasti nggak mau. Pantes aja lo masih stuck di situ. Lo bodoh dan pengecut. Gue berarti nggak perlu berbuat banyak, buat dapetin dia lagi."

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang