13|OSB

17.3K 1.5K 108
                                    

Jangan terlalu terpaku pada apa yang terlihat baik sebelum mengenal lebih dalam, karena yang terlihat baik terkadang lebih menyakitkan ketika mengeluarkan bisanya.

Jam pelajaran baru telah berbunyi sekitar 20 menit lalu. Seharusnya pada saat jam-jam awal, keadaan kelas begitu sunyi, karena belum ada keruetan akan materi yang hampir memenuhi kepala. Sehingga mampu menyerap perkataan yang terlontar oleh Guru. Semua itu berbeda, jika berurusan dengan Rivan. Cowok penyuka susu cokelat, dan tamaghocy, yang kini tengah berdiri dengan tangan yang terangkat di depan kelas.

Cowok yang langsung dihukum setelah pembelajaran dimulai sekitar 10 menit. Tentu saja alasannya karena Rivan sangat fokus pada benda yang ada dikedua tangannya. Bukan buku, bukan bolpen, bukan juga buku paket, melainkan roti. Yup roti yang ditengahnya diselipkan tamaghocy. Aneh, tapi itu yang sesungguhnya terjadi. Hatinya tak rela meninggalkan seditik pun anaknya yang kali ini bernama Makna.

Harapannya sih, biar hidupnya bermakna.

Belum sempat dia memandikan anaknya, suara gebrakan di meja menyentaknya, menarik semua fokusnya. Hampir saja dia melontarkan kalimat, Lo kira ini sekolahan mantan lo apa –karena mbah sudah mainstream- sampai lo berani-beraninya mukul meja. Hampir, sebelum matanya menangkap sosok Bu Rita –guru geografi- yang menatapnya dengan tajam, sesekali melotot dan menatap penuh hawa pembunuh pada apa yang di pegang.

Hingga akhirnya, dia di sini, berdiri sendiri, tak ada yang menemani.

Di hukum, di depan kelas, diiringi dengan tawa teman-temannya.

Bu Rita berdecak, sambil berkacak pinggang. Rivan tidak memamerkan senyuman seperti orang yang mencoba menarik perhatian. Toh, dia juga sudah mendapatkan perhatian. Lee Donghae gitu loh.

"Rivan."

"Iya Bu Rita."

"Kamu tahu apa kesalahan kamu?"

Rivan menggeleng, masih pada posisinya memegang telinga. "Saya tidak tahu, Bu. Yang saya tahu..."

"Aku cinta ibu...ciee Rivan mau gombal.."

"Aduh bang, bisa aeeeee si otak ikan."

"Cuit-cuit Rivan, bisa juga gombal. Gemes deh pingin gue sumpel pake kain pel."

Rivan langsung mendelik, menatap satu persatu orang yang melontarkan gangguan sehingga kalimatnya terputus. "Heh terong beracun! Tuh mulut nggak usah dibiasain potong omongan orang! Kalau ngefans nanti aja minta tanda tangan, segitu ngefansnya sampai motong pembicaran gue?!" Semua langsung terdiam, melihat perkataan Rivan yang menggemaskan sekaligus menyindir.

Kevin menggelengkan kepalanya, merasa takjub dengan sikap sahabat gilanya itu. Rivan itu konyol serius, tapi kalau sudah ngomong penuh emosi, pedesnya itu udah ngalahin cabe. Dia juga baik, makanya terkadang kalau lagi kumat pedesnya, mereka lebih baik diam, dibanding harus mendengarkan kalimat pedes beruntun. Tapi, setelah itu Rivan bersikap biasa. Satu hal yang membuat teman kelas mereka mau berteman dengan Rivan, laki-laki itu bersikap apa adanya, tak ada yang ditutupi, dan satu lagi, dia tidak peduli temannya siapa. Jika menurutnya baik, dia akan berteman mau miskin apa nggak, meskipun mulutnya itu tajemnya terkadang ngalahin pisau. Tapi, peduli dengan caranya sendiri.

Pernah, Rivan menolong orang yang tasnya nyangkut digenteng. Setelah dikatakan bodoh, tolol, bego, akhirnya Rivan yang mengambilkannya. Nita, salah satu teman kelasnya yang diam-diam menjadi fans Rivan.

"Aduh bu, sakit. Tega bener!" Rivan melepaskan kedua tangannya yang memegang telinga, ia mengusap kepalanya yang ditumbuhi rambut, berulang kali.

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang