"Mungkin aku tidak mengenal perasaanku sendiri,
Seberapa jauh arti dirimu untukku.
Hingga pada akhirnya, ketika luka menghampiri,
Membuatku sadar akan satu hal,
Kau sudah masuk jauh ke dalam hatiku."
Fely tidak bisa menghentikan senyumannya, ia masih tidak menyangka bahwa dia akan pergi bersama dengan Rivan. Rasanya dia begitu tidak sabar. Seberapa banyak ia mencoba untuk tenang, ketidaksabaran itu kembali hadir, membuat ia menggila. Fely membaca ponselnya lagi dengan senyum yang terpancar di wajahnya.
Rivan:
Gue mau jalan.
Lo nggak usah kelamaan dandan,
nggak ada yang bakal berubah dari lo.
Dan nggak usah bikin gue lama nunggu, naif.
Rasanya tidak membosankan ketika membaca chat itu, bahkan kalau bisa dibilang dia merasa ingin terus membacanya. Sulit untuk menerima chat dari Rivan, karena itu rasanya luar biasa. Fely bisa membayangkan ketika Rivan mengiriminya chat wajahnya tidak bersahabat, tapi entah kenapa mungkin dia menyukainya.
Fely meletakan ponselnya di ranjang dan beralih mengambil benda oval yang sempat ia mainkan beberapa jam yang lalu. Benda yang diberikan oleh Rivan. Dia senang memainkan benda oval itu, seperti dia kembali di masa lalu.
Jemarinya mulai bergerak cepat, menekan tombol demi tombol. Suara demi suara mulai keluar. Fely mulai menikmatinya.
"Kak," ketukan terdengar seiring dengan suara panggilan. "Ayah, masuk ya."
Fely bangkit dari ranjang, dan mentap pintu.
"Anak Ayah cantik ya."
"Makasih, Yah."
"Kayak Bunda." Fauzan mendekat.
Fely sempat terdiam, sebelum akhirnya dia tersenyum haru. "Seperti Bunda?" Kebahagiaannya menyeluap ketika mendengar hal itu. Selalu. Setiap ada
"Ya, Bunda cantik, kamu juga." Fauzan mengelus kepala Fely. "Nggak nyangka kamu udah besar gini. Seharusnya Ayah cari tahu tentang kamu, biar Ayah bisa tahu pertumbuhan kamu."
Fely menatap Ayahnya dengan lembut. "Nggak apa-apa Ayah. Fely seneng kok, bisa ketemu Ayah. Lagian Fely di sini, jadi Ayah tahu perkembangan Fely." Fely tidak kuat melihat penyesalan dari mata Ayahnya, meski hanya sebentar. Dia seperti merasakan rasa sakit itu juga.
"Kamu tumbuh dengan baik ya." Fauzan merasa bangga, putrinya benar-benar seperti malaikat. "Ah iya, ada titipan dari Bunda kamu."
"Bunda? Buat Fely?"
"Iya." Fauzan mengeluarkan benda berkilau dari saku celananya. Ia menyerahkannya pada Fely. "Kamu tahu, sebenci-bencinya seseorang, ada rasa sayang yang terselip. Dan sebagaimana pun seorang ibu, pasti ada rasa sayang dan cinta untuk buah hatinya. Ini, titipan Bunda buat kamu."
Fely tidak bisa berkata apa-apa, dia ingin menangis sekarang juga. Tangannya bergetar ketika meraih kalung dari tangan Ayahnya. "Ini beneran dari Bunda?" Dia tahu, pertanyaannya sangat konyol. Mengulangi sesuatu yang sudah dia dengar jelas jawabannya. Hanya saja, dia tidak bisa meghentikan ketidakpercayaannya, bahwa kalung itu dari sang Bunda. Orang yang sejak dulu menjadi penghangat hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...