"Sejatinya, sahabat bukan perkara mengenai siapa yang sudah lebih lama dikenal,
Melainkan mengenai siapa yang ada di saat dirimu kesusahan dan mengulurkan tangannya tanpa ragu."
Aska tidak tahu apa yang terjadi padanya, tatapan ketakutan itu kembali mengganggunya, mengusik egonya yang jarang sekali untuk terluka. Masih dengan mengerjakan tugasnya ia berpikir, apa yang salah dengan tatapan itu. Kenapa dia begitu risih, dan tidak rela tatapan itu mengalir padanya. Goresan tinta pada kertas terhenti, Aska meremas rambutnya dengan tangan bebas sembari memejamkan matanya.
Dia tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Hatinya begitu terganggu oleh tatapan Fely. Aska hanya mengenal gadis itu sebentar, tapi kenapa bekas senyuman dan tingkahnya terus membekas. Seakan mereka sudah bersama lama. Kalau diingat-ingat, dengan gadis itu dia bisa bersikap bebas, tanpa ada merasa tertekan sama sekali. Dia begitu nyaman. Senyuman gadis itu begitu tulus padanya, begitu juga dengan tatapan Fely. Begitu hangat dan Aska menyukainya.
Dan kenapa jantungnya berdebar ketika Aska memikirkan Fely.
"Permisi, Derel datang."
Aska membuka matanya, lalu memutar tubuhnya sedikit agar bisa melihat Derel yang masuk ke dalam kamarnya. "Ngapain lo ke sini?"
"Biasa nyontek." Derel tersenyum lebar sembari mendekat. Tas ransel hitam berada di punggungnya. "Belum kelar? Tumben." Ia mengambil buku tulis milik Aska, menelitinya dengan seksama. "Kenapa lo? Tumbenan amat lo lama banget ngerjainnya."
"Nggak konsen gue." Aska menyenderkan punggungnya di senderan kursi belajar.
"Kenapa? Fely?" tebak Derel langsung dan dia tersenyum puas ketika melihat reaksi Aska. Menatapnya dengan tajam lalu menutup matanya lagi. Ia tertawa kecil, sembari berbalik, menyenderkan pantatnya di sisi meja. "Lo jatuh cinta sama doi?"
"Nggak usah sembarangan." Aska langsung bangkit, entah kenapa dia sedikit merasa malu dengan pertanyaan Derel.
"Udah sih ngaku aja As, gue paham kok lo suka sama si doi. Nggak bakal gue godain juga." Derel mengikuti Aska dan menjatuhkan dirinya di lantai. "Paling gue ejek sampai mampus. Tapi As," Derel membalikan tubuhnya menghadap ke arah Aska yang kini tengah tiduran di atas ranjang. "Dia itu manis As, baik, cuman kasihan aja keadaannya. Coba aja dia agak PD, yakin gue kalau dia jadi populer. Apalagi beh, bodynya. Mantep, lo lihat kan? Pas dia gant...waduh. Sakit sialan!"
Aska menendang Derel cukup kencang, dia tidak suka dengan apa yang di dengarnya. Ada letupan kemarahan dalam dirinya ketika dirinya mendengar itu semua.
"Dih marah. Makanya gih cepet kejer. Toh lo semakin hari makin bosan kan sama Ileana?"
Derel dan Aska memang hampir mempunyai sifat yang sama, dan karena itu Derel menyadari perubahan Aska yang akhir-akhir ini berbeda pada Ileana. "Saran gue, dari raja playboy. Mending lo kejer deh si Fely, daripada keduluan sama Rivan. Gue denger sih, anaknya labil, tapi diam-diam perhatian."
"Lo tahu dari mana?"
Derel tersenyum penuh arti sambil menepuk dadanya begitu bangga.
"Emang apa sih yang nggak gue tahu. Jadi, lo beneran suka?"
******
Aska sungguh tidak mengerti kenapa dirinya bisa di sini. Tadi dia sudah dalam perjalanan menuju tempat nongkrong mereka, kepalanya yang penat membutuhkan asupan udara, sayangnya ketika ucapan Derel muncul di benaknya membuat dia di sini sekarang. Memarkirkan mobil tak jauh dari rumah Fely.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...