"Diam-diam ada yang berubah pada hati yang semula enggan untuk terbuka.
Begitu halus hingga membuat sang pemilik begitu terganggu karenanya. "
Entah sudah berapa kali Rivan mendengus kesal, melihat dua orang yang kini saling bercengkrama. Sudah beberapa menit berlalu dan percakapan itu tidak kunjung selesai, membuat kejengahan Rivan semakin menjadi-jadi. Mata abunya berkilat ketika memfokuskan pandangannya pada Fely yang kini sibuk mendengarkan celotehan Mamanya.
Dia masih ingat, tadi, ketika dia baru selesai mandi, ketukan pintu terdengar. Rivan membiarkan saja karena mengira ada pembantunya yang membukakan, tapi ternyata tidak. Pintu itu terus diketuk membuat ia buru-buru melangkah tanpa atasan, memperlihatkan dadanya secara utuh. Rivan mengira bahwa yang mengetuk itu adalah Pak Ujang, jadi dia tidak perlu memakai baju, tapi ketika membukanya malah bukan Pak Ujang yang dia lihat melainkan si cewek bego. Mana pakai menjerit, seperti Rivan akan melakukan apa saja.
"Van, kalau suka bilang, nggak usah dilihatin gitu." Alma yang menangkap basah putranya tengah memeperhatikan Fely dengan seksama tidak membuang waktu. Dia menarik pundak Fely untuk mendekatinya. "Udah sih kamu sama Fely ini. Kamu kan bodoh, Fely pinter, kamu jelek, Fely cantik. Klop lah. Mama setuju."
Ingin sekali Rivan menjerit bahwa semua yang dikatakan oleh Mamanya bohong. Bagaimana bisa dia yang gantengnya seperti Siwon dikatakan jelek?
"Serah, Mamalah." Rivan bangkit, mengambil kotak susu yang isinya sudah habis ia sedot, karena memperhatikan keduanya berbincang. Dia tidak mau berlama-lama di sana, kepalanya akan pecah karena gadis itu. Dia sudah mengusir Fely keluar yang hasilnya ia dipukul oleh Mamanya. Sadis.
"Mau kemana kamu, Van? Kabur? Ih cemen banget. Masa nggak berani ngungkapin perasaan."
"Siapa yang suka sama dia sih, Ma!" Rivan sudah kehilangan kendali. Dia menunjuk Fely yang lantas menunduk. "Rivan nggak suka sama cewek macam dia. Bego banget mau dibully sama orang."
"Van!" Alma menaikan suaranya, dia mendelik ke arah putranya yang kini sudah menurunkan kembali tangannya. Dia menghela napas, menepuk pundak Fely beberapa kali. "Sabar ya, Rivan emang gitu. Mulutnya aja yang pedes, tapi hatinya manis kok. Mau ngelihat foto kecilnya Rivan nggak?"
"Mama!" Wajah Rivan memerah, karena amarah.
Amaya menaikan tangannya, memberikan kode untuk Rivan berhenti bicara. "Sudah-sudah akui saja."
"Tan..tante." Fely merasa tidak enak, atmosfir di sini berubah karena dirinya. Ia melirik ke arah Rivan. Sudah jelas cowok itu begitu tak suka. "Anu, itu, terkait lamaran saya, bagaimana?"
Bukannya Fely tidak sopan, dia hanya ingin menghentikan hawa mencekam yang berasal dari Rivan. Cowok itu seolah seekor singa yang tengah memandang korban yang tak lain adalah dirinya.
"Oh itu. Kamu diterima dong. Masa menantu Tante nggak diterima." Alma menurunkan sedikit tubuhnya, mengarahkan tangannya untuk mengambil cangkir, dan tak lama membiarkan tenggorokannya basah karenanya. "Jadi, mulai besok kamu jadi tutor Rivan dan Ica ya."
Sungguh kala itu suara Alma ketika mengatakannya begitu lembut dan penuh kebahagiaan. Sayangnya ditelinga Rivan itu adalah sebuah pengumuman yang begitu buruk, bahkan melebihi dompetnya yang terkena kanker. Bibirnya sudah terbuka, tapi tertutup kembali ketika Mamanya melemparkan tatapan yang serius padanya.
Dan dia sudah tahu satu hal.
Dia sudah tamat.
Kenapa sulit sekali untuk pergi dari gadis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Fiksi RemajaBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...