09. |Haru|

22.8K 1.6K 90
                                    

Ada desiran lembut yang menyapa. Memberikan rasa bahagia, ketika melihat matamu mengarah padaku.

-Our story begins-

Motor merah hitam melaju dengan kecepatan sedang, ikut serta dalam ratusan motro yang berada di jalanan raya. Siang hari itu terasa panas. Matahari tampak semangat mengeluarkan binarnya, membuat keluhan demi keluhan muncul dari mulut manusia.

"Mau minum es kelapa nggak?!" tanya Aska yang melirik ke belakang dari spionnya. Ia sengaja menaikan nada suaranya sedikit. Membiarkan suaranya terdengar di antara suara motor dan mobil yang mendominasi.

Fely menggeleng pelan. Ia membenarkan rambutnya yang terhantam angin. "Nggak deh. Langsung aja. Sekali lagi, maaf ya, ngerepotin!" kata Fely dengan rasa tak enak yang melingkupi diri.

"Santai." Aska kembali memfokuskan diri pada jalan raya, menyalip di antara celah kendaraan yang ada. Membiarkan suara bising kendaraan kembali masuk ke dalam telinga yang tertutup helm berwarna hitam.

Fely memandang punggung yang kokoh di depannya dengan pandangan haru. Ia tidak menyangka Aska begitu baik untuknya. Kembali ia mengingat kejadian setengah jam lalu, di sekolah mereka.

Setelah adegan di mana ia sempat terpaku dengan perkataan Aska. Fely, mencoba untuk pergi dari sana, menghindar dari Aska. Bukan sok jual mahal. Hanya saja, dia tidak ingin Aska mendapatkan dampak jika berdekatan dengan dirinya. Cukup, Ileana, dan itu sudah membuatnya kapok.

Baginya, perkataan ibarat pisau yang mampu membunuhnya berkali-kali, dengan kalimat yang begitu menusuk. Alfabet yang tertata apik, begitu halusnya menorehkan luka, hingga meninggalkan sakit yang terlalu dalam. Ia bukan tipe orang yang santai menanggapi semua perkataan yang terlontar. Ada beberapa kata yang langsung menghunus ke dalam hatinya.

Dan juga..

Ia tidak suka jika ada seseorang terluka karena berdekatan dengannya. Meski teman adalah salah satu harapan dari sekian harapan yang ia minta. Ia berharap, karena dia iri dengan seseorang yang mempunyai teman, tempat di mana ia bisa mencurahkan setiap keluh kesahnya dengan bentuk kata, bukan malah diam, dan menumpuknya dalam hati.

Fely masih tidak bisa menemukan jawaban yang cocok, untuk seseorang yang membuang temannya begitu saja, dengan gampang menghancurkan hati temannya berkeping-keping, dan menusuk temannya dari belakang. Kenapa bersikap seperti itu? Padahal teman itu berharga, padahal teman itu sulit untuk ditemukan.

Tak terasa laju motor milik Aska mulai pelan, dan berhenti di tempat Fely bekerja. Gadis itu dengan sigap turun perlahan. Ia mengambil posisi di samping kanan Aska. Ia tidak langsung berbicara, melainkan menunggu Aska melepaskan helmnya dan menoleh ke arahnya dengan senyuman lebar yang tertera.

Lagi, detakan itu kembali hadir. Rasa hangat menyebar dalam dirinya. Tatakala, tatapannya terkunci pada tatapan Aska. Tak ada tatapan merendahkan, tak ada tatapan mencela, dia hanya melihat kehangatan di sana.

"Mau ditungguin nggak?" tanya Aska seraya melihat ke arah kafe dengan tulisan besar di atas atap, sebagai penanda. Ia kembali menoleh ke arah Fely, ke gadis yang memiliki iris mata cokelat terang. Seperti madu.

Kembali Fely menggeleng. Ekspresinya menampilkan ketidak enakan yang kentara. Cukup untuknya diantarkan ke tempat kerja, tidak perlu untuk mengantarkannya. Mereka tidak sedekat itu untuk meminta Aska menjemputnya. Bahkan kalaupun mereka dekat, dia tidak juga meminta.

"Gue bisa pulang sendiri kok." Fely menjelaskan. Ia kembali merapikan rambutnya yang disapu angin, membuat anak rambutnya beberapa kali maju ke depan. "Makasih ya, maaf ngerepotin lo."

Aska sempat mengernyit mendengarnya, sebelum terkekeh sambil menggeleng. "Gue udah bilang, santai aja. Mau sampai kapan sih bilang kayak gitu? Lagian, gue heran, kenapa lo sering bilang makasih, dan ngerasa nggak enak?" Jujur, dia penasaran dengan Fely semenjak beberapa hari lalu. Gadis itu selalu berkata terima kasih, maaf, dan ngerasa nggak enak.

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang