17 |O S B

17.8K 1.3K 57
                                    

Cukup satu alasan untuk membuat aku membencinya, dan orang lain tidak perlu tahu.

****

Jika alasan tidak mempengaruhi seseorang untuk tidak jatuh cinta, berbanding terbalik dengan kebencian. Ada alasan yang mendasari kebencian seseorang terhadap orang lain, entah hal sederhana atau rumit. Salah satunya adalah cinta, rasa misterius yang begitu kuat untuk mengubah perasaan seseorang.

Aska menegak minumannya beberapa tegukan sembari berjalan. Minuman soda menjadi pilihan Aska setiap pagi, sebelum melakukan olahraga. Tidak baik memang, tapi, itu bisa menghilangkan sebuah rasa hampa di dalam dirinya, meski beberapa detik. Mempunyai rumah besar tidak menjamin kebahagiaan, itu yang dirasakan oleh Aska. Dia merasa percuma jika sudah difasilitasi dengan rumah, mobil, motor, bahkan uang yang terus bertambah rekeningnya, karena semua itu tidak bisa menhilangkan kesepian yang terus ia tutupi selama ini dengan senyuman.

Digesernya sebuah pintu kaca yang menjadi pembatas antara bagian dalam rumahnya dan halaman belakang. Halaman luas langsung terpampang nyata. Udara sejuk menyapanya, masih jam 6 pagi, rasa dingin tentu masih mendominasi udara yang ada. Ia melangkah maju, meletakan kaleng yang sudah berisi setengah ke atas meja, lalu berjalan beberapa meter dari pintu. Di mana ada beberapa alat olahraga di sana. Hari minggu waktu di mana ia bisa berolahraga, berlatih dan melakukan semua yang ia inginkan secara leluasa tanpa harus menyembunyikan dirinya sendiri.

"Jangan mempermalukan saya."

"Bangsat!" umpat Aska kencang, membelah kesunyian. Mendengar suara Papanya membuat emosinya meluap. Dia benci dengan semua hal yang berkaitan dengan Papanya, keluarganya.

Aska memilih tidak menggunakan alat itu sekarang, dia memutuskan untuk melatih tubuhnya dengan push up, meningkatkan kekuatan untuk menahan tendangan Ayahnya. Ia memulai menurunkan tubuhnya, meluruskan kedua tangan yang dijadikan tumpuan dan begitu juga dengan kakinya.

Dia bukan anak yang penurut seperti pendapat banyak orang, dia bukan orang baik yang begitu juga banyak dipikirkan oleh orang, dan Ayahnya bukan orang yang sangat baik, seperti apa yang terlihat.

Kecepatan push-up Aska semakin cepat, seiring dengan kemarahan yang tertahan di dalam dirinya. Sebanyak waktu yang terlewat semakin besar juga kebencian yang tertumpuk di dalam dirinya.

Senyuman..

Tatapan lembut..

Keramahan..

Semua itu membuat dia hampir gila. Sifat itu bukan miliknya. Dia hanya melakukan itu semua karena perkataan Papanya yang begitu memuakan. Dia bisa saja kabur, tapi, satu hal yang dia tidak bisa ditinggalkan.

Aska menghabiskan waktu hampir dua jam untuk berolahraga sebelum akhirnya memutuskan membersihkan diri. Cowok bermata kopi itu meloloskan sebuah kaos berwarna biru tua dari kepala dan kedua lengannya. Ia berhenti ketika melewati cermin yang berada di sana. Entah kenapa dia mengamati wajahnya sendiri, lalu senyum kecil terbesit di wajahnya tanpa ia bisa cegah.

Memar masih terlihat di wajahnya tapi bukan itu yang membuat senyuman itu timbul. Melainkan kejadian semalam di mana Fely mengobati lukanya yang sudah mengering. Ekspresi gadis itu begitu lucu, di mata Aska. Semalam dia mempunyai hiburan tersendiri. Ah, dia tidak menyukai Fely.

Gadis bodoh itu hanya sebuah objek permainannya. Tidak lebih. Semua itu sandiwara. Dia sudah mempunyai pacar. Ileana, dan jika dibandingkan Ileana lebih dibandingkan dengan Fely.

Siapa sih yang tidak mau dengan cewek macam Ileana, yang cantik, mempunyai bodi sesuai dengan keinginannya? Dia masuk ke dalam permainan ini hanya karena ia bosan, dan tantangan dari Derel membuat ia tergiur untuk mencoba. Terlebih lagi pacarnya menginginkan

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang