"Hanya tinggal waktu, bunga yang kuncup akan mekar.
Bergabung dengan bunga-bunga yang terlebih dulu bermekaran,
Begitu juga dengan dirimu,
Kau mampu seperti mereka,
Hanya tinggal menunggu.
Kapan waktu yang tepat untuk menunjukan keindahanmu
Karena sejatinya, kau dan mereka mempunyai kekuatan sendiri untuk tumbuh."
"Bebas!" Tristan merentangkan kedua tangannya ketika dia sudah keluar dari kelas. Ia menghirup udara dengan gaya dramatis, matanya terpejam. "Surga dunia."
"Minggir lo." Rivan menendak pantat Tristan. Cowok itu terlihat sungguh terganggu dengan sikap Tristaan itu. Ia berdecak, sembari mengambil celah yang ada untuk keluar.
Semua orang merasa beban yang hampir dua minggu ini menjerat tubuh mereka terbebas. Pikiran mereka akhirnya bisa berlalang buana ke arah yang mereka inginkan, tanpa harus terjerat dengan namanya pelajaran.
Tristan mendelik ke arah punggung Rivan. Dengan satu tangan ia mengusap pantatnya. "Lo nih ya, nggak bisa ngelihat orang seneng!" serunya dengan kesal
"Kesenengan lo nggak penting di mata gue." Rivan menjawabnya dengan biasa. Menyakitkan untuk di dengar.
"Mampus." Kevan tertawa. Ia membenarkan letak tali tas ranselnya.
"Lo kejem banget." Tristan bergumam. "Tapi nggak apa-apa lah, Babang sadis tapi perhatian." Tristan merangkul pundak Rivan, yang tentu langsung ditepis oleh cowok bermata abu-abu itu.
"Jangan sentuh gue." Rivan menepis tangan Trisan, ia menoleh dengan mata yang sudah menyipit. "Dan berhenti ngomong menjijikan seperti itu. Bikin gue maki lo." Raut wajah Rivan begitu menggambarkan ucapannya, tatapan yang menyiratkan cemohan, dan bibir yang terangkat sedikit. Ia bersidekap setelah menjaga jarak dari Tristan.
"Gue jadi pingin nyanyi sekarang." Tristan mengepalkan tangannya,menjadikan itu sebagai mik.
"Emang lagi manja, lagi pengen dimanja
pengen berduaan dengan dirimu saja
emang lagi syantik, tapi bukan sok syantik
syantik syantik gini hanya untuk dirimu"
"Iqbal!" seru Kevan yang ikut menimpali, begitu juga dengan teman-teman kelas mereka yang ada sekitar sana. Gelak tawa langsung mendominasi depan kelas Rivan.
"Ketahuan banget lo semua pada ngikutin tuh akun," cecar Tristan ketika dia sudah selesai menyanyi –tepatnya menghentikan nyanyiannya.
"Bukan ngikutin njir, tapi semua sosmed penuh sama tuh orang, bosan gue ngelihatnya."
"Bosan apa bosan. Sampai lo apal gitu?" Tristan menyeringai.
"Bukannya lo yang ngikuin. Isi akun lo kan akun gosip terus." Kevan melaporkannya. Semua teman-teman mereka langsung heboh.
"Anjir si Tristan ternyata diam-diam lambe."
"Hahaha."
"Babang, bantuin kek, diem aja lo."
Rivan yang memang sudah memilih untuk duduk, dan memainkan permainan favoritnya, menengadah. Iya, hanya menengadah dan menunduk kembali setelah mengatakan apa yang diinginkan melewati pandangan. "Mati aja sono."
Rivan menghela napas mendengar keributan yang ada. Keinginannya yang terdalam adalah pulang ke rumah, tidur dengan bebas sampai malam. Karena selama ini, dia menghabiskan waktu untuk belajar bersama –terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...