Andai waktu bisa berputar, pasti kita akan baik-baik saja.
Ya andai, pada kenyataannya, kata andai adalah asa yang timbul dalam ketiadaan
dari perpisahan yang menyakitkan
."
Detak detik jam terdengar, mengikis kesunyian yang ada. Menemani hati yang kini telah terpecah. Di sana, di atas ranjang, seseorang sudah terjaga. Menatap ruang hampa tanpa minat. Tubuhnya seolah lumpuh, bibirnya seolah membisu.
Fely. Gadis yang kini masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Satu per satu kepingan puzzle kini sudah tersusun rapi dalam kepalanya, membentuk sebuah gambar yang sirat akan jawaban pertanyaannya sejak dulu.
Kebencian, cinta, dan luka.
Tiga hal yang kini menjadi akar dari semuanya. Gadis tersenyum miris, luka yang begitu dalam terlihat dari iris matanya yang biasanya terang. Seolah seperti awan mendung yang menutupi sinar mentari.
Fely tidak tahu bagaimana caranya dia mengucapkan perasaannya saat ini, karena dia sendiri tidak tahu apa yang dia rasakan. Senangkah karena tahu bahwa Ayahnya masih hidup, atau harus sedih karena Bundanya begitu hangat pada orang yang mungkin menjadi saudaranya, ataukah dia harus membenci dirinya sendiri karena dia adalah penyebab dari semua keterpurukan sang Bunda.
Matanya masih terasa berat, begitu juga dengan kepalanya. Tapi, tetap tidak bisa menghentikan pemikiran yang sejak awal menjadi penghuni kepalanya.
"Fel, lo udah bangun belum?"
Sapaan itu menghentakan Fely, menarik iris matanya untuk melihat ke arah pintu yang kini telah terketuk.
"Udah." Fely tercekat, suaranya begitu serak, membuat ingatannya semalam semakin lengkap. Dia menangis cukup lama, dan dia menangis di samping Rivan. Satu kenangan yang kini membuat jantungnya berpacu.
Kepala Citra terlihat dari celah pintu yang tercipta. Gadis itu tersenyum, bibirnya ditarik, menimbulkan sebuah sedikit lengkungan di wajahnya.
"Sarapan yuk. Anak-anak yang lain udah pada nungguin."
"Ah iya, maaf ya, gue nggak bisa bantu." Fely begitu lirih mengatakannya. Dia merasa menjadi beban pada teman-temannya.
"Santai lah." Citra mengibaskan tanganya, menjelaskan bahwa itu bukan permasalahan yang besar. "Lo mau mandi dulu apa gimana? Tampang lo jelek, suer deh."
Fely mencoba tersenyum, tapi sepertinya hanya sebuah garis tipis yang muncul di wajahnya. "Gue mandi dulu, nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Kita tungguin lo di sana ya?"
Fely mengangguk, dia mengucapkan terimakasih dan maaf sekali lagi, sebelum akhirnya Citra meninggalkannya sendiri.
"Gue, harus kuat. Nggak boleh ngerepotin siapa-siapa lagi," kata Fely, yang kini sadar siapa yang membawanya ke dalam kamar ini. Rivan, hanya cowok itu yang membantunya semalam.
****
"Bang-bang apa yang diam-diam perhatian?" Tristan mulai mengeluarkan teka-teki berhadiah. Ia menatap semua temennya penuh ketertarikan.
"Bangbangkel?"
"Bang-bangkisan?"
"Salah." Tristan memainkan jemari telunjuknya. "Bang-bang Rivan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...