56 | O S B

16.9K 1.4K 242
                                    

"Kadang, bukan karena tidak ingin mengakui apa yang dirasakan,

Melainkan,

karena adanya luka yang masih tertanam dalam raga.

Hingga bibir enggan untuk terbuka.

"Nah, Axel udah wangi." Fely mencium pipi Axel, ia sungguh gemas dengan pipi adiknya itu. Sekarang, hal yang sering dia lakukan adalah memandikan Axel ketika dia mempunyai waktu senggang. Ujian telah usai, dan dia sekarang tinggal menunggu hasil ujian.

"Kak, Axel udah selesai mandi?"

"Udah, Ma." Fely menatap Axel. Ia menunduk sekali lagi. "Udah dek bilang,"

"Ucah!" Suara Axel menggema di dalam kamar mandi. Ia langsung berlari cepat, meninggalkan Fely.

"Axel, pelan-pelan, jangan lari nanti jatuh." Dengan kekhawatiran, Fely keluar dari kamar mandi. Ia mendesah lega ketika melihat Mamanya ada di sana. Axel tersenyum lebar, membiarkan kedua pipinya yang gempal nyaris menutup matanya.

"Kak langsung ganti bajunya ya. Nanti kamu masuk angin. Itu Axel pasti yang basahin." Vanila menoleh ke arah putra kecilnya, ia memainkan pipi Axel yang masih gembul. "Axel yang basahin Kakak ya?"

"Acah acah acah."

"Astaga, anak siapa sih kamu." Vanila mencium Axel bertubi-tubi, membuat anak kecil itu menggeliat minta dilepaskan. "Gemesin banget."

"Mama!"

Fely melihat itu tersenyum. Rasanya begitu bahagia melihat kedekatan orang tua dengan anaknya. Bagaimana tatapan kasih sayang terpancar, membuat tidak bisa mengalihkan pandangan.

"Kak?"

"Eh iya,Ma?"

"Ganti baju dulu, nanti masuk angin." Vanila melihat ke arah Fely dengan tatapan khawatir. Fely memperhatikan dirinya sendiri, benar, dia hampir basah kuyup semuanya.

"Aku mau nyuci, Ma. Nanti sekalian aku ganti baju." Fely tersenyum ramah. Vanila memang selalu memperhatikannya seperti ini. Seperti kemarin ketika ia pergi terlalu lama, Vanila bertanya apakah dia merasakan mual atau tidak. Dia seperti sungguh disayang, dan mungkin benar-benar disayang. Hal yang dia selalu inginkan.

"Nggak usah, Kak. Cuciannya nanti diurus sama Bibi."

"Tapi,"

"Enggak Kak. Mama bilang nggak, ya nggak. Kamu 'kan capek beberapa hari ini begadang terus. Kamu istirahat aja. Apalagi kemarin tidurnya larut 'kan?"

Benar, kemarin, mereka menghabiskan waktu berpesta hampir larut malam. Mereka saling berbincang,membicaraan hal penting dan tidak penting. Fely ingat, dia tertawa di sana. Mendengar ocehan Tristan dan godaan Kanaya pada Rivan dan dirinya.

Gelenyar panas mulai menjalar ke seluruh tubuh Fely, membakar setiap sel yang ada, ketika mengingat godaan yang terlontar kemarin, antara dia dan Rivan. Dia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti ini. Rasanya setiap dia mengingat itu, rasa panas mulai menyapanya. Apalagi ketika melihat Rivan yang menatapnya.

Deg deg deg.

Astaga, lagi, jantungnya berdebar kencang ketika mengaingatnya. Bagaimana tangan Rivan menggenggam tangannya, sikapnya yang kemarin lebih hangat dari biasanya, dan,

"Kak, kamu sakit?"

Kesadaran Fely muncul. Ia menggeleng cepat. Bagaimana bisa dia memikirkan Rivan sekarang?

"Nggak, Ma. Mama tadi ngomong apa?"

Seolah tidak percaya, Vanila mendekat, ia memegang kening Fely. "Nggak panas. Kamu kenapa?"

Our Story BeginsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang