Rintikan hujan yang mengikis kesunyian malam, masih terdengar. Beradu dengan kerasnya atap, menimbulkan sebuah lagu yang tercipta oleh semesta. Hawa dingin menjadi temannya, menambah keinginan seseorang untuk tertidur dengan selimut yang memeluk diri. Sayangnya, suasana yang ada tidak membuat Fely untuk masuk ke dalam rumahnya. Ia masih setia duduk di dekat pintu, sambil menekuk kedua lututnya. Menjadikannya sebagai tumpuan. Kedua matanya menutup lurus, mengarah pada jalanan yang kini sedang dibasuh oleh hujan. Hal yang sudah lama dia lakukan semenjak Bundanya tidak pulang.
Dengan hangatnya kopi, dan pelukan selimut usang, Fely duduk di sana. Masih menanti dengan sabar. Mata cokelatnya berulang kali menutup, menunjukan bagaimana rasa kantuknya saat ini. Tapi, baru beberapa detik matanya terpejam, ia langsung membukanya. Seolah tak mau melewatkan waktu lebih lama.
Setiap langkah kaki yang terdengar membuat ia menatap jalanan penuh harapan, dan menghembuskan napas kecewa ketika itu bukan sosok Bundanya.
"Bunda, Fely kangen," gumamnya penuh kerinduan, matanya mulai berkabut, bibirnya mulai menunjukan senyum kepedihan. Hatinya kembali menjerit begitu pilu. Detik di mana ia sendiri, adalah detik di mana ia merasa kehilangan kekuatannya. Semua ketakutannya.
Ia menggeleng, mencoba menepis perasaan yang begitu pedih dalam hatinya. Dia mengambil cangkir putih yang berisi kopi hangat. Satu hal yang dia ingat ketika ia menyentuhnya, cangkir itu pemberian Bundanya. Dan itu membuat ia merasa bahwa Bundanya juga peduli dengannya.
Fely menempelkan pinggiran cangkir pada belahan bibirnya, menyesapnya perlahan. Membiarkan bagaimana rasa pahit kopi menyebar luas dalam dirinya. Ia merasa sedikit tenang ketika rasa pahit itu menyebar, seolah dengan rasa pahit itu, dia bisa menghilangkan perasaan yang begitu sesak dalam hatinya.
Ia menaruh kembali cangkir itu dan mengambil buku paket. Dia akan menghabiskan waktunya untuk menunggu sambil belajar. Aroma tanah yang sejak tadi tercium menemaninya, begitu juga dengan hujan. Fely berharap, Bundanya ada tempat aman sekarang, tidak kedinginan dan tidak kelaparan.
Ponselnya bergetar, menarik perhatian Fely untuk mengangkatnya. Keningnya mengernyit ketika melihat namanya masuk ke dalam sebuah grup WA. Beruntung ponsel tuanya masih mempunyai memori untuk menginstal apk itu.
"Chit chat grup."
Tristan : Wah ada grup baru.
Rame rame rame.
Kanaya : udah kayak upin ipin lo.
Tristan : Peka banget lo, gue nonton upin ipin.
Suka banget sama gue ya?
Kanya : Suka sama cowok absurd kayak lo?
Hello, pacar gue lebih cakep daripada lo.
Tristan : Halah.
Kevan : Ini grup apaan dah? Grup gue udah penuh.
Tristan : Grup pdkt-an Rivan sama Fely.
Rivan menghapus Tristan dari grup.
Rivan : G sh ngbct yg g pntg.
Kevan : Hahahha, mampus mampus dah.
Kanaya menungundang Tristan ke grup
Tristan : Babang tega.
Rivan : Gk ush buat grup g jls.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...