"Rasa, waktu, dan penyesalan."
"Kenapa juga harus gue sih?!" Rivan menarik tangannya. Ia bersidekap. "Gue nggak akan ngelakuin hal yang nggak bermutu." Ia menempelkan punggungnya di senderan kursi, bersikap angkuh. Bahkan tidak segan cowok itu menatap jengah pada orang yang terus memintanya ikut serta dalam kegiatan kelas mereka.
Dia menolak karena beberapa alasan, alasan utama hal itu merepotkan, dan alasan kedua adalah kebebasannya terenggut. Padahal yang dia inginkan ketika acara bebas di sekolahnya, dia ingin bebas minum susu sambil beramin tamaghocy tanpa ada yang menghentikan kegiatannya saat ini.
Acara bebas di sekolahnya biasanya dilakukan setahun sekali. Tujuannya untuk membuat keharmonisan di antara kelas yang ada, dan persaingan sehat. Tidak semua orang antusias, ada yang begitu malas untuk ikut dalam kegiatan itu, salah satunya Rivan. Cowok yang memilih bebas dibandingkan harus ikut kegiatan kelasnya yang tahun ini membuat kafe dalam kelas.
"Nama lo 'kan lagi naik, Van. Bantulah kita."
"Lo kira tekanan air naik. Kalau mau ngelucu, nggak usah di depan gue, bikin telinga gue sakit."
Agus menghela napas, menyabarkan diri. "Maksud gue, lo itu mulai terkenal di sekolah."
"Lo kira gue artis."
"Maksud gue—"
"Nggak usah maksud-maksud, gue nggak butuh maksud lo." Rivan menegakan tubuhnya. "Sekalinya nggak ya nggak."
"Lo anggota kelas nggak sih?!" Yang lain mulai geregetan dengan sikap Rivan.
"Pikir sendiri."
"Lo harus ikutan, Van." Tristan menimpali, kedua tangannya sibuk memegang kardus.
"Lo siapa? Gue kenal?" Rivan menaikan sebelah alisnya, menatap Tristan dengan tatapan nyalang. Masih ada jejak kemarahan dalam diri Rivan ketika melihat Tristan. Entah kenapa mungkin, setiap dia melihat Tristan emosinya langsung naik.
"Dih, masih ngambek aja." Tristan melangkah, dan menaruh kerdus di depan kelas. Berhenti sejenak untuk mengambil sesuatu sebelum akhirnya dia membalikan tubuhnya. "Udah lo harus ikut."
"Emang lo siapa nyuruh-nyuruh gue?"
"Sahabat karib lo." Tristan menjentikan jemarinya dan menunjuk Rivan.
Rivan bergidik ngeri. "Gue timpuk juga nih lo pake kursi kalau lo nggak berhenti bertingkah menjijikan kayak gitu."
Tristan cemberut. "Tinggal bilang iya, apa sih susahnya."
"Lo aja ikut sana!"
"Emang gue sama Kevan ikut. Ketinggalan info ya lo, makanya jangan mikirin cewek lo mulu. Mentang-mentang udah nggak jomblo lagi."
Rivan menggeleng sembari membuang muka. Dia jengkel, saking jengkelnya dia tidak tahu harus melakukan apa untuk menutup mulut Tristan. Entah siapa yang menyebarkan hubungan dia dan Fely, hingga orang yang dia kenal mengetahui kabar itu.
"Tuh gue pilihin seragam yang paling bagus."
"Telinga lo taruh di mana?! Gue nggak mau!"
Gue bilang ke Mama lo nih." Tristan menunjukan ponselnya di depan wajah Rivan. "Mampus lo diomelin."
"Kenapa bawa-bawa Mama gue?!"
"Gue 'kan satu grup sama Mama lo, dan beliau bilang jangan segan-segan melaporkan semua tingkah lo ke dia." Tristan mengucap bangga. "Atau, gue suruh Fely yang bujuk lo. Ah, kenapa gue bisa lupa ya. Si Fely pasti ada di kelasnya, 'kan." Tristan menarik pakaian itu, dan hendak pergi ke Fely.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Ficțiune adolescențiBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...