Mari kita percepat semuanya: aku mencintaimu.
Langit mulai menghitam seakan mendukung mega untuk menangis. Bumi seakan paham, merentangkan tangannya lebar-lebar, menjadi tempat sandaran untuk tangisan mega tanpa banyak protes. Rinai hujan pelan tapi pasti mulai menubruk segala sesuatu yang ada di bawahnya, tak jarang membentuk sebuah melody lagu jika bersentuhan dengan atap.
Suara gemericik dan pantulan mulai terdengar, seakan meminta untuk diperhatikan. Banyak orang yang mulai mengeluh, menatap awan dan langit dengan penuh kekesalan. Termasuk Fely yang kini mengusap tangannya, untuk menghantarkan tangannya. Ia gelisah, hari ini dia harus bekerja.
Selepas bel berbunyi, mega langsung menyambutnya dengan tangisan. Membuat mereka terdiam, memandangnya penuh pilu. Oh ayolah, Fely butuh untuk meninggalkan sekolah ini, dia ingin bekerja dan menyiapkan kebutuhan mamanya.
Ia menghela napas, di antara keluhanya ia menyisipkan doa. Dia pernah dengar, bahwa ketika hujan doa bisa terjabah. Dalam keramaian yang terjadi karena obrolan, dalam keramaian akan melody yang dibuat oleh hujan, ia berdoa, semoga suatu saat semua lebih baik.
"Gue mau ngomong sama lo, Fel."
Fely menggerakan kepalanya, melihat ke arah samping. Ia tersentak, dan reflek menggerakan tubuhnya sedikit. Menarik sudut bibirnya hingga membentuk senyuman, "Hai, Cit," sapanya riang. Jarang sekali Citra menyapanya, hanya bisa dihitung jari ketika dia diajak bicara oleh teman sebangkunya itu.
"Jangan terlalu percaya sama seseorang, yang terlihat baik, belum tentu baik." Citra melirik Fely. Berharap bahwa gadis itu mengerti maksdunya.
"Maksudnya?" Fely mengernyitkan dahinya, bingung dari perkataan Citra. Tiba-tiba saja gadis itu menghampirinya, mengajaknya berbicara dan mengatakan hal yang seakan ada maksud.
"Gue cuman mau ngucapin itu aja." Citra menepuk pundaknya, lalu meinggalkan Fely yang tengah dilanda kebingunga.
Jangan terlalu percaya, percaya pada siapa?
Oh ayolah. Otaknya tidak bisa menangkap maksud dari perkataan bijak itu. Baik, siapa yang baik?
Fely terdiam, mengerjapkan matanya seraya menatap Citra yang mulai menghilang dan meninggalkan jejak langkahnya. Apa mungkin maksudnya Ileana? Jangan terlalu percaya pada Ileana dan Aska? Bukankan mereka semua itu baik? Sampai sekarang, mereka baik padanya, jadi tidak mungkin kalau mereka berdua.
"Gue udah bilang sama lo, gue nggak mau. Kenapa lo maksa banget, sih!"
Suara penuh kekesalan itu menarik perhatian beberapa orang, termasuk Fely. Di sana Aska dan satu orang yang bernama Bimo tengah berjalan beriringan diiringi dengan debatan kecil.
"Ayolah, gue tahu lo suka banget sama fotografi. Bahkan bisa dibilang lo cinta mati." Bimo semakin mendesak Aska, dia tidak mau kehilangan kesempatan membawa Aska ke dalam eksul di mana ia berada. Cowok itu mempunyai bakat di bidang fotografi. Bimo masih mengingat satu foto yang begitu menakjubkan sewaktu dia bertandang ke rumah cowok itu.
Aska mengusap wajahnya, frustasi dengan sikap Bimo yang begitu menyebalkan. "Gue nggak mau," katanya penuh penekanan. Mengalihkan sejenak matanya, menatap rinai hujan yang semakin besar.
Sekarang dia menyesal, sudah menaruh hasil fotonya sembarangan. Aska sebenarnya menyukai fotografi, memotret menjadi salah satu penghilang rasa stresnya. Awalnya semua begitu lancar, sebelum Papanya mengambil alih untuk mengatur semua kehidupannya termasuk kesukaannya.
Aska menarik pandangannya, kembali melihat Bimo, menatapnya pernuh peringatan, "Berhenti ajakin gue ke sana, gue nggak akan mau." Menepuk pundak Bimo sebagai kata perpisahan sebelum berjalan ke arah Fely.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story Begins
Teen FictionBagaimana rasanya dibully karena hal sepele? Bagaimana rasanya dibully oleh teman yang nyatanya menusuk dari belakang? Felly, gadis SMA yang sederhana, hanya mengandalkan beasiswa untuk bersekolah. Dia tidak tahu, kenapa hidupnya bisa seperti ini...